sastra

Senin, 19 September 2011

Sampai titik




Dia merenung sendiri di balik jeruji jendela bertindihkan bantal di atas kepalanya, tampak murung dan penuh tanda tanya. Batin yang tersiksa dan deru nafas yang menggebu hanya di temani lambaian kain korden yang tertiup angin. Terkadang ia tersentak kaget, dengan senyum penuh harapan ketika pak pos melintas di depan rumahnya, berharap ada surat dari kekasihnya.
diruang hampa itu ia hanyalah  makhluk lunglai tanpa daya, kepalanya penuh dengan angan yang coba menerobos dinding-dinding otaknya ia hanya bisa menahan dan terus menahan, kadang kala batinnya berteriak  bibirnya membisu penuh dera, Semakin ia melawan semakin pedih  yang ia rasakan.
Tetes keringat yang mengalir di sekujur tubuhnya tak ia hiraukan lagi,raungan kelaparan di perutnya pun ia acuhkan begitu saja, Ribuan kata tanya tak henti-henti mengalir di otaknya.lagi-lagi Terik mentari telah beranjak pindah ke sisi bumi yang lain ia belum juga menerima kabar, dengan tertunduk letih ia menanti.
Saat petang datang ia hanya di temani lampu usang yang penuh asap, dengan batin  menjerit jeritan penuh harapan dan kerinduan, gejolak api cemburu pun mulai timbul kadangkala, ia merasa putus asa letih tak berdaya dimakan masa.
Tusukan angin malam ia rasakan tanpa mengenakan sehelai kain di tubuhnya, hanya setumpuk jerami yang tertindih di bawah badan lunglainya, binatang malampun mulai mengusik telinganya, Namun ia tak menghiraukan akan hal itu.
di bawah redupnya lampu tampak dengan gemetar jemarinya menggoreskan arang di gedek rumahnya,’’aku bukan letih menanti, aku juga bukan berhenti menanti,’’itu yang ia tuliskan. Seketika itu ia pun terlelap dan tak pernah kembali terjaga.!



Rozik Maskhuri
Mahasiswa Gemasastrin, 2011

Tidak ada komentar:

Posting Komentar