sastra

Minggu, 23 Juni 2013

Drama dan Teater



I. PENGETAHUAN DASAR DRAMA dan TEATER
1.1 Konsep Drama
Istilah "drama" berasal dari bahasa Yunani "draomai" yang berarti “menirukan”, selanjutnya dalam pengertian umum diartikan “berbuat, berlaku, bertindak, atau beraksi”. Drama berarti perbuatan, tindakan atau action. Dalam kehidupan sekarang, drama mengandung arti yang lebih luas ditinjau apakah drama sebagai salah satu genre sastra, ataukah drama itu sebagai cabang kesenian yang mandiri. Drama naskah merupakan salah satu genre sastra yang disejajarkan dengan puisi dan prosa. Drama pentas adalah jenis kesenian mandiri yang merupakan integrasi antara berbagai jenis kesenian seperti musik, tata lampu, seni lukis (dekor, panggung), seni kostum, seni rias, dan sebagainya. Jika kita membicarakan drama pentas sebagai kesenian mandiri, maka ingatan kita dapat kita layangkan pada wayang, ketoprak, ludruk, lenong, dan film.
    Adapun beberapa pendapat para ahli tentang pengertian drama dibagi menjadi enam pengertian: (1) drama adalah kualitas komunikasi, situasi, action, (segala apa saja yang terlihat dalam pentas) yang menimbulkan perhatian, kehebatan (exiting), dan ketegangan pada pendengar/penonton. (2)  drama adalah "hidup yang dilukiskan dengan gerak" (life presented in action). Jika buku roman menggerakkan fantasi kita, maka dalam drama kita melihat kehidupan manusia diekspresikan secara langsung di muka kita sendiri. (3) drama adalah konflik dari sifat manusia merupakan sumber pokok drama. (4) drama haruslah melahirkan kehendak manusia dengan action. (5) drama adalah kesenian melukiskan sifat dan sikap manusia dengan gerak, dan (6) drama adalah cerita konflik manusia dalam bentuk dialog, yang diproyeksikan pada pentas dengan menggunakan percakapan dan action dihadapan penonton (audience).
    Berdasarkan pengertian tersebut tampaknya terdapat empat hal yang perlu diperhatikan, yaitu komposisi, potret kehidupan, lakuan, dan dialog. Komposisi yang tersusun secara rapi dan bertujuan untuk dipentaskan dapat dikatakan naskah drama sebagai karya sastra. Naskah drama pada umumnya sudah memiliki unsur-unsur yang secara exist ada dalam sastra dan dapat pula dikatakan sebagai karya sastra. Yang dimaksud komposisi adalah suatu susunan karangan yang sudah mapan (Ahmadi). Dengan demikian, karangan ini sudah dapat dinikmati sesuai keadaannya. Sedang yang dimaksud dengan potret kehidupan adalah kehidupan faktual yang diangkat dalam karya sastra dan dapat dikembalikan ke dalam kehidupan itu sendiri.
    Sehingga dapat disimpulkan bahwa drama adalah suatu karya sastra yang bertujuan menggambarkan kehidupan manusia melalui dialog dan lakuan. Tanpa kedua unsur terakhir, yaitu dialog dan lakuan, tampaknya drama belum dapat dikatakan sebagai drama. Bisa jadi, ia hanya merupakan karya sastra yang hanya sekadar dibaca. Dengan kata lain, drama baru dapat dikatakan drama apabila ia tersusun dalam komposisi yang bagus dan baku, terdiri atas dialog-dialog yang menggambarkan karakter masing-masing tokoh, dan lakuan-lakuan yang menyertai dialog sebagai pengejawantahan karakter dalam drama itu sendiri dan menggambarkan kehidupan manusia secara mikro dan makro.

1.2 Konsep Teater
Pada masa Yunani kuno manusia saat itu mempunyai kepercayaan kepada dewa-dewa. Diantara dewa-dewa itu menurut kepercayaannya, dewa utama yang paling ditakuti adalah dewa Zeus, yang menurut keyakinan mereka mempunyai dua orang putera, yaitu dewa Dyonesos dan dewa Apollo. Sifat kedua dewa bersaudara itu jauh berbeda, dewa Dyonesos dikenal sebagai dewa penghancur, karena itu amat ditakuti. Sebab bila dewa Dyonesos murka, maka terjadilah bemacam-macam bencana seperti kemarau yang panjang, wabah penyakit menular, kematian dimana-mana, dan sebagainya. Sebaliknya dewa Apollo inilah yang memberikan kesuburan, kemakmuran dalam bentuk musim hujan dan panen yang melimpah. Bila tanaman subur, hewan-hewan gemuk, manusia sehat, makmur dan hidup tenteram, maka ini merupakan tanda bahwa dewa Apollo sedang singgah di dunia.
Untuk kedua dewa tersebut, rakyat Yunani amat memuliakannya dengan tata cara persembahan yang berbeda. Dalam waktu-waktu tertentu rakyat mengadakan pesta ria di suatu tempat yang telah ditentukan. Mereka yang tidak datang dianggap berdosa dan akan menerima kutukan. Karena itu pada pesta itu, rakyat dari berbagai penjuru daerah datang beramai-ramai ke suatu tempat pesta. pesta ria ini diadakan di tanah lapang luas, biasanya diapit oleh gundukan-gundukan tanah atau dikelilingi oleh gundukan tanah. Pesta ini memakan waktu cukup lama sampai berminggu-minggu, sehingga mereka membawa perbekalan dari rumahnya masing-masing. Tempat pesta tersebut dapat menampung orang dalam jumlah yamg banyak sekali, dan berbentuk arena. Di tengah-tengah arena tersebut terdapat "pusat persembahan" yang disebut "teatron".
Teatron ini berupa podium tanah yang dibentuk semacam ruangan. Di sinilah orang-orang berkumpul mempersembahkan "sesajen" (persembahan) untuk para dewa. Agar doa dan sesaji (persembahan) mereka diterima oleh dewa, maka orang-orang menari-nari di sekeliling persembahan tersebut. Tari-tarian untuk dewa Apollo dilakukan secara meriah. Orang-orang menirukan gerak-gerik binatang. Ada yang berselubung kulit domba sekaligus menirukan gerakan domba, ada yang berselubung kulit harimau sekaligus menirukan gerakan harimau, dan sebagainya. Baik para penonton maupun para penari diperbolehkan saling mengejek sesuka hati, sehingga suasana betul-betul meriah dan gembira. Suasana demikian disebut "co-mos", yang berarti "gembira". Bertolak dari kisah tersebut, maka segala bentuk cerita yang bersifat gembira atau pertunjukan yang bersifat humor disebut "comedy" (komedi). Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa Dewa Apollo-lah yang melahirkan cerita "komedi".
Berbeda halnya dengan kisah persembahan kepada dewa Dyonesos. Persembahan kepada dewa Dyonesos ini dilakukan dengan penyembelihan seekor domba jantan, yang oleh orang Yunani disebut "tragos". Didasarkan pada waktu pelaksanaannya, persembahan ini (tragos) biasanya dilaksanakan pada musim rontok atau musim gugur. Menurut anggapan orang Yunani kuno, pada musim inilah dewa Dyonesos sedang murka, karena itu mereka perlu mengadakan persembahan, upacara doa dengan tari-tarian, dengan menghilangkan (tanpa) acara ejek-mengejek. Semua jenis tari-tarian tersebut menggambarkan "suasana berkabung", kemudian dilangsungkan upacara penyembelihan " tragos " tersebut. Ratap-tangis dan teriakan tragos itu disebut "tragedia". Tujuan dari persembahan tragos itu, agar musim rontok dan segala bencana segera berakhir. Kesedihan seluruh rakyat digambarkan melalui teriakan tragos waktu disembelih, sedih dan mengerikan.
Dari kisah persembahan itulah, lahirlah istilah "tragedia", yaitu kisah-kisah yang bersifat menyedihkan. Dan perlu juga diketahui bahwa dalam upacara persembahan tragos untuk dewa Dyonesos ini, para penari mencorang-coreng wajahnya serta diiringi dengan iringan musik yang sesuai dengan suasananya. Tradisi mencorang-coreng wajah ini akhirnya berkembang, dan kemudian kita kenal dengan istilah "make up" (tata rias).
Dalam perkembangan selanjutnya, bangsa yang berkuasa ialah bangsa Romawi, pada jaman Romawi, tradisi tersebut diadakan perubahan-perubahan. Bentuk arena persembahan diubah menjadi "gelanggang pertunjukan". Fungsi gelanggang arena tidak berfungsi untuk persembahan kepada para dewa, melainkan digunakan untuk "arena/gelanggang pertarungan". Yang dipertarungkan atau diadu ialah tawanan perang dengan singa atau binatang buas yang lain. Tempat penonton yang disusun bertingkat itu dapat memberikan kesempatan kepada para penonton untuk menyaksikan jalannya pertarungan dengan jelas.
Bentuk-bentuk "teatron" (pusat gelanggang atau pusat arena) itu kemudian mengalami perkembangan, misalnya dari bentuk arena lingkaran berubah menjadi segi empat, menjadi setengah lingkaran, dan sebagainya. Menurut Harymawan dalam bukunya Dramaturgi, menurut etimologisnya, teater adalah gedung pertunjukan (auditorium). Dalam arti luas teater adalah segala tontonan yang dipertunjukkan di depan orang banyak. Misalnya, wayang orang, ketoprak, ludruk, srandul, membai, randai, mayong, arja, rangda, reog, lenong, topeng, dagelan, sulapan, akrobatik, dan sebagainya.
Dalam arti sempit teater adalah drama, kisah hidup dan kehidupan manusia yang diceritakan di atas pentas, disaksikan oleh orang banyak, dengan media, percakapan, gerak dan laku, dengan atau tanpa dekor (layar dan sebagainya), didasarkan pada naskah yang tertulis (hasil seni sastra) dengan atau tanpa musik, nyanyian atau tarian.
Pertunjukan drama disebut juga sandiwara. Kata sandiwara itu dibuat oleh P.K.G. Mangkunegara VII almarhum sebagai pengganti kata toneel, yang pada hayatnya sudah mulai mendapat perhatian di kalangan kaum terpelajar. Tetapi, pada waktu itu di lingkungan kaum terpelajar itu yang dipergunakan masih bahasa Belanda. Kata baru "sandiwara" dibentuk dari kata "sandi" dan "wara", sandi (Jawa sekarang) berarti rahasia, dan wara (warah Jawa) adalah pengajaran. Demikian menurut Ki Hadjar Dewantara, sandiwara adalah pengajaran yang dilakukan dengan perlambang.

1.3 Manfaat Drama/Teater
Banyak hal yang dapat kita raih dalam bermain drama, baik fisik maupun psikis. Pembicaraan ini tidak akan memisahkan secara rinci antara bermain drama dan teater, karena keduanya merupakan satu kesatuan yang utuh. Di bawah ini akan diuraikan manfaat bermain drama atau teater.
a.    Meningkatkan pemahaman
Meningkatkan pemahaman kita terhadap fenomena dan kejadian-kejadian yang sering kita saksikan dan kita hadapi dalam kehidupan sehari-hari. Kita menyadari bahwa memahami orang lain merupakan pekerjaan yang paling sulit dan membutuhkan waktu. Untuk itu drama/teater merupakan salah satu cara untuk memecahkannya. Dengan bermain drama atau berteater kita selalu berkumpul dengan orang-orang yang sama sekali berbeda dengan diri kita. Dari segi individual differences inilah kita dituntut untuk memahami orang lain. Pemahaman kita kepada orang lain tidak hanya dilihat dari orangnya, melainkan keseluruhan orang tersebut. Meliputi sifat, watak, cara berbicara, cara bertindak (tingkah laku), cara merespon suatu masalah, merupakan keadaan yang harus kita pahami dari orang tersebut.
b.    Mempertajam kepekaan emosi
Drama melatih kita untuk menahan rasa, melatih kepekaan  rasa, menumbuhkan kepekaan, dan mempertajam emosi kita. Rasa kadang kala tidak perlu dirasakan, karena sudah ada dalam diri kita. Perlu diingat bahwa rasa, sebagai sesuatu yang khas, perlu dipupuk agar semakin tajam. Apa yang ada dihadapan kita perlu adanya rasa. Kalau tidak, maka segala sesuatu yang ada akan kita anggap wajar saja. Padahal sebenarnya tidak demikian. Kita semakin peka terhadap sesuatu tentu saja melalui latihan yang lebih. Rasa indah, seimbang, tidak cocok, tidak asyik, tidak mesra adalah bagian dari emosi. Oleh karena itu, perasaan perlu ditingkatkan untuk mencapai kepuasan batin.
Drama menyajikan semua itu. Peka panggung, peka kesalahan, peka keindahan, peka suara atau musik, peka lakuan yang tidak enak dan enak, semua berasal dari rasa. Semakin kita perasa semakin halus pula tanggapan kita terhadap sesuatu yang kita hadapi.
c.    Pengembangan ujar
Naskah drama sebagai genre sastra, hampir seluruhnya berisi cakapan. Cakapan secara tepat, intonasi, maka ujar kita semakin jelas dan mudah dipahami oleh lawan bicara. Kejelasan tersebut dapat membantu pendengar untuk mencerna makna yang ada. Harus ada kata yang ditekankan supaya memudahkan pemaknaan. Dimana kita memberi koma (,) dan titik (.). hampir keseluruhan konjungsi harus diperhatikan selam kita berlatih membaca dalam bermain drama. Suara yang tidak jelas dapat berpengaruh pada pendengar dan lebih-lebih pemaknaan pendengar atau penonton. Di sini perlu adanya  kekuatan vokal dan warna vokal yang berbeda dalam setiap situasi. Tidak semua situasi memerlukan vokal yang sama. Tidak semua kalimat harus ditekan melainkan pasti ada yang dipentingkan. Drama memberi semua kemungkinan ini. Sebagai salah satu karya sastra yang harus dipentaskan dan berisi lakuan serta ucapan.
d. Apresiasi dramatik
Apresiasi dramatik dikatakan sebagai pemahaman drama. Realisasi pemahaman ini adalah dengan pernyataan baik dan tidak baik. Kita bisa memberi pernyataan tersebut jika kita tidak pernah mengenal drama. Semakin sering kita menonton pementasan drama semakin luas pula pemahaman kita terhadap drama atau teater. Karena itulah, kita dituntut untuk lebih meningkatkan kecintaan kita terhadap drama. Hal ini dilakukan dengan tujuan memperoleh wawasan dramatik yang lebih baik.
e. Pembentukan Postur Tubuh
Postur berkaitan erat dengan latihan bermain drama, latihan ini dibagi menjadi dua golongan besar, yaitu dasar dan lanjut. Yang termasuk latihan dasar ini adalah latihan vokal dan latihan olah tubuh. Yang terkait dengan postur adalah olah tubuh. Kelenturan tubuh diperlukan dalam bermain drama, sebab bermain drama memerlukan gerak-gerik. Gerak-gerik inilah yang nantinya dapat membentuk postur tubuh kita sedemikian rupa.
f. Berkelompok (Bersosialisasi)
Bermain drama tidak mungkin dilaksanakan sendirian, kecuali monoplay. Bermain drama, secara umum, dilakukan secara berkelompok atau group. Betapa sulitnya mengatur kelompok sudah kita pahami bersama, bagaimana kita bisa hidup secara berkelompok adalah bergantung pada diri kita sendiri.
Masing-masing orang dalam kelompok drama memiliki tugas dan tanggung jawab yang sama. Tak ada yang lebih dan tak ada yang kurang, semuanya sama rendah dan sama tinggi, sama-sama penting. Untuk itu, drama selalu menekankan pada sikap pemahaman kepada orang lain  dan lingkungannya.
Kelompok drama harus merupakan satu kesatuan  yang utuh. Semua unsur dalam drama tidak ada yang tidak penting, melainkan semuanya penting. Rasa kebersamaan, memiliki, dan menjaga keharmonisan kelompok merupakan tanggung jawab dan tugas semua anggota kelompok itu. Bukan hanya tugas dan tanggung jawab ketua kelompok. Baik buruknya pementasan drama tidak akan dinilai dari salah seorang anggota kelompok tetapi semua orang yang terlibat dalam pementasan. Oleh karena itu, perlu adanya kekompakan, kebersamaan, dan kesatuan serta keutuhan.
g.    Menyalurkan hobi
Bermain drama dapat juga dikatakan sebagai penyalur hobi. Hobi yang berkaitan dengan sastra secara umum dan drama khususnya. Dalam drama terdapat unsur-unsur sastra. Drama sebagai seni campuran (sastra, tari, arsitektur).


Tidak ada komentar:

Posting Komentar