sastra

Minggu, 27 Mei 2012

Ternyata Aku


Baru saja mereka membuat aku terkejut “Kenapa ibu tak pernah bilang padaku bahwa pakcik adalah ayah kandungku. Aku lebih kecewa kini karena setelah sekian lama semua rahasia ibu telah terbuka, terlambat sudah ayah telah meninggal bahkan aku belum pernah merasakan belaian beliau. Untuk apa lagi sekarang? Yang ada Cuma kesedihan dan harapan yang berlalu”. Ucapnya seraya air mata yang mengalir.
Ternyata kasih sayang yang ku terima ini bukanlah kasih dari orang tua kandungku, sekarang aku merasa malu padamu ibu karena banyak sudah kejahilanku dari sejak aku kecil  sampai kini, maafkan aku. Jadi, inilah tujuan ibu mengajakku ke tempat ini. Pantas mereka melihatku lain.
Baru saja turun dari mobil angkutan umum L300 aku di sambut dengan keadaan yang belum pernah aku rasakan sebelumnya, rasa duka telah terasa sejak rumah itu tampak, kerrumunan orang-orang yang sedang yasinan ada yang duduk bersimpuh dengan tangisan, para pemuda kampung sibuk memasang tenda untuk persiapan zikir malam nanti.
“kamu auri kan?” kata salah sanak saudara di rumah. Semua orang pun semua melihat ke arahku, hanya terdiam saja tanpa gerak, aku bingung dengan omongan mereka belum mengerti maksud dari pertanyaan singkat itu. Aku bertanya bertanya pada ibu apa yang sedang mereka katakan terhadapku, padahal baru dua kali aku ke kampung ini, pertama saat aku berusia 13 tahun, sekarang aku berumur 25 tahun untuk kedua kalinya aku berada di sini kenapa mereka mengenaliku? Seribu tanya dalam benakku, pertanyaan yang ku tujukan pada ibu tidak di jawab, beliau hanya diam dan juga menyuruhku untuk diam.
Rasa jengkel mulai terasa, karena penasaran yang aku rasakan ini tak ada jawaban, padahal belum sampai 24 aku berada di kampung ini, tujuanku hanya bersilaturahim ke rumah pakcik, malangnya satu jam sebelum aku sampai pakcik telah meninggal. Aku juga merasa heran kenapa mayat pakcik tak langsung dikebumikan, yang ku tahu, ibu bukanlah saudara dekatnya sah-sah saja bila prosesi pemakaman langsung dilaksanakan.
Rasa capek masih aku rasakan kerumunan orang-orang itu menghampiriku, ibu hanya diam dari tadi, seperti ia menyembunyikan suatu hal dariku, rasa penasaran masih ada dalam benakku. Ketika melihat mayat pakcik terbaring di ruang yang aku lihat, tanpa aku sadari tetesan ini membasahi pipiku, ingin sekali rasanya aku mencium kaning pakcik, terasa dalam jiwa, seakan aku telah kehilangan seorang yang sangat aku cinta dan sayangi, bahkan lebih dari itu, padahal aku tidak akrab dengannya hanya sebatasnya saja antara saudara biasa.
Aku terus memandanginya, walau sudah banyak orang disekelilingku. Salah seorang dari mereka berkata “itulah ayahmu!”. Aku tak tahu siapa yang berkata seperti itu, kejutkan batinku rasa sesak terasa dalam dada mengapa dia berkata seperrti itu, aku masih belum percaya atas apa yang baru saja ku dengar, “ibu, benarkah apa yang mereka katakan, bahwa aku adalah anak kandung pakcik?”. Sekarang semua orang sudah membicarakan itu ibu tak bisa berkata-kata lagi selain hanya menangis. “nanti saja ibu ceritakan semuanya padamu nak! Benar apa yang meraka katakan, datanglah ke sana ke jenazah ayahmu cium keningnya dan minta maaflah padanya”. Hanya itu yang ibu katakan.
Tak peduli lagi apa yang ada di sampingku bahkan orang-orang banyak itu, aku duduk bersimpuh dengan berlinangan air mata meminta maaf pada ayah yang baru aku kenal setelah ia meninggal (pakcik), tangis ini tak bisa lagi aku bendung ia keluar begitu saja. “Ayah, durhakakah aku karena baru mengenalimu, apakah dosaku akan terampuni karena kini baru aku bisa mengucapkan kata maaf padamu, ayah, apakah aku seorang anak yang berbakti padamu karena tak pernah sekalipun aku memanggilmu dengan sebutan “ayah”. Ayah ini adalah kali pertama aku memanggilmu dengan sebutan itu setelah kau tak lagi mendengar suaraku ini, ayah aku hanya bisa maaf padamu dan akan selalu aku doakan engkau ayah agar dikau menjadi ahli surga di sana kelak. Amin”.
Tak algi berkata apa-apa aku duduk dengan sebuah yasin dan membacanya, orang-orang itu masih saja melihatku.
***
Setelah proses pemakaman ayah selesai aku pinta kepada ibu untuk menjelaskan semuanya tentang aku. Ibu mencertikan semuanya dengan sesak tangis yang ditahannya.
Ibu kandungku  meninggal dunia kala aku masih berusia satu bulan, keadaan keluarga yang sangat kurang mampu menjadi faktor utama kenapa aku tak di rawat oleh ayah (pakcik). Ayah ingin aku menjadi orang yang berhasil namun tak mungkin dengan keadaan materti yang tak cukup, saat itu ibu datang dan meminta agar aku bisa di rawatnya sampai berhasil kelak dan ia akan merahasiakan semua tentang aku, ibu berencana memberitahukan kisahku setelah aku tamat kuliah dan punya pekerrjaan yang tetap. Tapi, apalah daya kehendak berkata lain ayahku meninggal sebelum sempat aku tahu siapa beliau sesungguhnya.
Semenjak aku tahu bahwa aku bukan anak kandungnya, aku penasaran dan sangat ingin melihat wajah ibu kandungku,apakah aku mirip dengannya, apakah ibu cantik secantik aku, ibu kandungku bagaimana sifatnya. Bayang-bayang tentang ibu masih tergambar dalam pikiranku, membayang seorang yang telah melahirkanku tapi belum pernah sekalipun aku melihatnya.
Seraya bayang-bayang itu bersemayam dalam benakku ibu memperlihatkan sebuah buku yang berisi album foto yang sudah usang tampaknya. Wajah seorang wanita sedang mengendong bayi, senyumannya begitu menggugah, ciumannya di kening bayi itu sangat ikhlas terlihat. Ibu bilang “wanita dalam foto ini adalah ibu kamu, dan bayi yang ada dalam pangkuannya adalah kamu”. Sesak yang ku rasa akhirnya berubah menjadi isak tangis aku sangat merindukan ibu di kala ayah sudah pergi  untuk selamanya.
Kini hanya doa yang bisa ku panjatkan kepada  mereka, walau tak sempat aku merasakan bagaimana kasih sayang orang tua kandung sesungguhnya. Ibuku telah lama pergi, ayahku baru saja menutup mata, aku telah dewasa menjadi seorang wanita sesungguhnya.
Ibu, kini hanya kau yang aku punya walau dia bukanlah ibu kandungku tapi kasih sayang yang ia berikan sama halnya seperti kasih sayang ibu kandung. Aku tak ingin lagi kehilangan ibu untuk yang kedua kalinya, aku ingin ibu melihatku bahagia dengan keberhasialan yang ku dapat kini, berkat doa ibu yang telah telah pergi dan ibu kedua yang membimbingku selama ini.
***
Ternyata ayahku, setelah kepergiannya aku tahu siapa aku adalah bukan anak kandung ibu, melainkan anak yang diambil ketika aku masih berusia satu bulan. Mungkin ini adalah kisah biasa, betapa pahit ku rasa. Tak sanggup lagi apa yang akan ku kata, karena tetesan ini telah merusak kertas diari yang telah rangkai dari hati.
Ibu, Ayah aku rindu kalian. Kita akan bersama di sana kelak di surga.

Beri Aku


Di sini, sendiri
Dalam ruang antara dinding
Melihat ke arah  luar di balik jendela tua
Mereka beriang

Aku sendiri di sini
Masih gelap dan sunyi
Aku kembali melihat
Ke arah cahaya itu
Betapa bahagianya  mereka

Dan teriak lagi hatiku :
“Tuhan, aku tak ingin sendiri”.


Rahmatsyah, 26 Mei 2012
Tungkop, Banda Aceh

Sabtu, 05 Mei 2012

Secangkir Kopi

Kopi panas di atas meja
Peneman pagi memulai hari
Secangkir si hitam manis
Untuk mereka para pecandu

Memulai asa dengan kopi panas
Mulai berkata setelah merasa
Satu teguk mengalir dari mulut
Manis-manis pahit nikmat terasa
Dan pikir mereka tentang suatu karya

Imajinasi bermain di kepala petuah itu
Apa yang akan tertuang dengan secangkir kopi
Cerita-cerita akan terangkai
Dari kisahnya sampai kisah mereka

Secangkir kopi panas di atas meja
Habis terteguk dalam mulutnya




Kantin FKIP, 5 Mai 2012
Rahmatsyah

Jumat, 04 Mei 2012

Ada Suatu Kerinduan


Senyap gelap menyapa
Terdengar seruan nyanyian batin
Dalam dawai malam yang kelam

Ada sesuatu yang sangat aku rindukan

Kalbu menangis di bawah rembulan
Tak ingin dahulu daku terpejam
Sebelum tetesan-tetesan ini
Menyampaikan kerinduanku

Seraya itu terucap asma-Mu
Seakan, hidup sesaat
Bersama jiwa-jiwa yang damai

Ada sesuatu yang sangat aku rindukan
Ketika sujud malamku
Menghadap-Mu


Rahmatsyah
Tungkop, 19 April 2012