sastra

Minggu, 23 Juni 2013

Penantian Ibu



Judul   : Penantian Ibu
Karya  : Rahmatsyah


Minggu pagi sekitar pukul 8.00 pagi dirumah sederhana yang jauh dari kota banda aceh kami berkumpul lengkap kecuali anak pertama keluarga kami Syahrizal, beliau merantau di ibu kota banda aceh2 tahun silam. Abu, nek, ibu (kak mu) cek li, amri, rahmat, intan, dan ilham yang masih bayi.

(Pagi itu, kami sedang nonton di ruang tamu, ibu di dapur membersihkan rumah.)
Cek li   : kak mu? Gempa! Ayo keluar semua jangan ada yang didalam rumah
Amri    : ibu, gempa!
(Semua keluar rumah tepat dihalam depan, selepas gempa usai)
Berita  : Gempa bumi tektonik berkekuatan 8,5 SR berpusat di Samudra India (2,9 LU dan 95,6 BT di kedalaman 20 km (di laut berjarak sekitar 149 km selatan kota Meulaboh, Nanggroe Aceh Darussalam). Gempa itu disertai gelombang pasang (Tsunami) yang menyapu beberapa wilayah lepas pantai di Indonesia (Aceh dan Sumatera Utara), Sri Langka, India, Bangladesh, Malaysia, Maladewa dan Thailand.
Ibu       : ya Allah, anakku (dalam tiba-tiba air mata mengalir)
Rahmat: mak, abang tidak akan apa-apa, ia pasti selamat.
(ibu langsung masuk ke kamar)
Ibu       : naaak! Ayahmu ke mana? Apakah sudah pulang? (dalam tangis)
Amri    : tidak tau mak, tadi pagi ayah berangkat.
Ibu       : kalian tunggu di rumah ya, jaga adikmum saya ingin ke rumah mak cik ingin cari kabar tentang abangmu.
Rahmat & Amri: iya mak.
(menjelang siang ibu pulang ke rumah dengan duka yang semakin bertambah, ketakutan harapan dan doa tak pernah leput dari ucapannya, ia hanya inginkan kabar tentang anakya, yang tiga bulan sebelumnya berpamitan).
Ibu       : nak, apa ayahmu sudah pulang?
Amri    : belum mak.
Ibu       : kalau sudah pulang kasih tau mamak  ya.
(sampai sore bertamu ayah belum pulang, ibu semakin gundah dan gelisah)
Ayah   : nak, ibu mana?
(dengan wajah lelah namun masih menyimpan sedikit senyuman)
Ibu       : yah, anak kita? Apa ayah dapat kabar anak kita, aku takut,, kenapa ayah begitu lama pulang, ayah dari mana saja? Tolong carikan anak kita bawa ia pulang. (dalam tangis ibu mengiba pada ayah)
Ayah   : tunggulah di sini aku akan ke kota untuk mencari anak kita, sebelum itu aku pun di ajak oleh bos untuk ke sana menjemput keluarga mereka, kemaskan bajuku sekarangaku akan menjemput bos dulu. (menelpon  keluarga bos di kota) apakah ijal ada di rumah?
Anak bos: ijal tidak di sini, ijal di kota pak
(malam itu mereka dalam perjalan ke banda aceh sedang di rumah masih dalam duka)
Ibu       : apakah ijal selamat ya?
Nenek  : banyaklah berdoa, jika umurnya panjang ia pasti akan kembali seperti anak tetangga.
Ibu       : doaku tak pernah lepas untuknya, aku hanya ingin ayah membawa pulang ijal, anakku.
Tetangga: bagaimana dengan ijal? Apa sudah ada kabar darinya?
Ibu       : ayah anak-anak sedang mencari ijal di banda, semoga beliau menemukannya
Tetangga: terlalu banyak korban hilang dalam musibah it, ini adalah bencana hebat, tuhan telah murka.
Ibu       : iya, itu karena ulah manusia yang mengundang murka Allah
Nenek  : kiamat kecil telah terjadi, kita tinggal menunggu kiamat sesungguhnya datang
Amri    : mak, ada telpon dari ayah. Cepatlah jangan sampai ayah menunggu lama
Ibu       :iya nak terima kasih. Saya tinggal dulu ya. (ibu menjawab telpon dari ayah) ayah? Apakah ayah mendapati ijal? Bagaimana kabarnya?
Ayah   : maaf mu, aku belum mendapatinya, kemarin sedang kami mencarinya ayah bertemu teman satu kos ijal di tenda. Ia bercerita “ketika gempa usai ijal bermaksud menelpon ke rumah, tapi tidak ada jaringan, alat komunikasi tak bisa dipakai kami pun tak berniat untuk pulang hanya akan mengabarkan kalau kami tidak apa-apa. Tak berselang lama waktu terdengar suara gemuruh orang-orang berlarian tak berarah, kami pun tak ingin berlama di kos ini, saat berlari ada dua orang perempuan yang meminta tolong, jadi kami pun membawa mereka bersama kami. Ditengah perjalanan seorang wanita jatuh dalam parit wanita itu tepat disamping eka, ijal mencoba menolongnya namun kata wanita itu kami harus tetap berlari. Karena itu kami bertiga kembali berlari. Wanita kedua ini ia diantara kami berdua ketika akan dipersimpangan ia bilang kami lari ke arah kiri, kami berpisah di persimpangan itu, mungkin tak mendengar.” Mu, sabar dan banyak berdoa aku akan tetap mencarinya.
Ibu       : iya yah, tolong bawa pulang anak kita, aku sangat merindukannya (ibu menangis lagi) adakah sesuatu selain ingin melihatnya anaknya? Cepatlah pulang ya dengan ijal aku mohon L
Ayah   : iya mu,  baik-baiklah dikau di sana.
(ibu menutup telpon dari ayah dengan harapan kosong)
Amri    : mak, bagaimana? Apa abang ada?
Ibu       : tidak nak, ayahmu masih mencarinnya.
(tiga hari kemudian ayah kembali menelpon ibu)
Ayah   : assalamualaikum mu, maafkan aku, ayah tak dapat menemukan ijal, sebisa mungkin kami mencarinya di rata tempat, semua tenda dll, tapi tuhan belum mempertemukan kami.
Ibu       : tidak apa-apa yah, ayah pulanglah esok. Jika ijal masih ada umur ia pasti akan pulang untuk kita.
Ayah   : iya mu, maafkan saya. Esok aku akan pulang.
(sewaktu ayah menelpon pakcik pun ke rumah, iya mendapat kabar wahab (adik ayah) juga menjadi korban bencana, jasadnya belum ditemukan. Saat ayah pulang dan sampai di rumah pakcik lansung mengabari kabar tersebut)
Pakcik : barusan aku mendapat telpon kalau wahab hilang di banda.
Ayah   : apa? (seketika ayah pingsang dipintu rumah, betapa tidak ayah belum belum percaya dengan kepergian anaknya ditampah adik kesayangannya pun ikut. Tak berselang lama ibu juga pingsan, beliau tak kuasa menahan lagi air mata Semua anggota keluarga menangis tersedu-sedu, saat ayah pulang suasana rumah sudah ramai)
Tetangga: bertahanlan, sabar mu, kendalikan dirimu anak-anakmu masih kecil, ingat harapan mereka kuatkan imanmu, ini cobaan tuhan telah merancanakan semua. Ijal pasti kan baik-baik saja.
Pakcik : rul (ayah), bangunlah, maafkan aku mengabarinya terlalu cepat, bangunlah rul!.
(suasana rumah sungguh pilu, semua terut dalam kedukaan)

....... Bersambung

Tidak ada komentar:

Posting Komentar