BAB I
A. DEFENISI RETORIKA
Berbicara yang akan dapat meningkatkan kualitas eksistensi
(keberadaan) di tengah-tengah orang lain, bukanlah sekadar berbicara, tetapi
berbicara yang menarik (atraktif), bernilai informasi (informatif), menghibur
(rekreatif), dan berpengaruh (persuasif). Dengan kata lain, manusia mesti
berbicara berdasarkan seni berbicara yang dikenal dengan istilah retorika.
Retorika adalah seni berkomunikasi secara lisan yang dilakukan oleh seseorang
kepada sejumlah orang secara langsung bertatap muka. Oleh karena itu, istilah
retorika seringkali disamakan dengan istilah pidato. Agar lebih jelas
maka dalam ulasan berikut ini akan didalami secara bersama beberapa pemahaman
dasar tentang retorika.
Dalam Bahasa Yunani ῥήτωρ, rhêtôr, orator, teacher)
retorika adalah sebuah teknik pembujuk-rayuan secara persuasi untuk
menghasilkan bujukan dengan melalui karakter pembicara, emosional atau argumen
(logo). Plato secara umum memberikan defenisi terhadap retorika sebagai
suatu seni manipulatif yang bersifat transaksional dengan menggunakan lambang
untuk mengidentifikasi pembicara dengan pendengar melalui pidato, dan yang
dipersuasi saling bekerja sama dalam merumuskan nilai, kepercayaan dan
pengharapan mereka. Ini yang dikatakan Kenneth Burke (1969) sebagai substansi
dengan penggunaan media oral atau tertulis.
Retorika memberikan suatu kasus lewat bertutur (menurut kaum
sofis yang terdiri dari Gorgias, Lysias, Phidias, Protagoras dan Socrates akhir
abad ke 5 SM), yang mengajarkan orang tentang keterampilan berbicara dan
menemukan sarana persuasif yang objectif dari suatu kasus. Studi yang
mempelajari kesalahpahaman serta penemuan saran dan pengobatannya. Retorika
juga mengajarkan tindak dan usaha yang efektif dalam persiapan, penetaan
dan penampilan tutur untuk membina saling pengertian dan kerjasama serta
kedamaian dalam kehidupan bermasyarakat.
Dalam ajaran retorika Aristoteles, terdapat tiga teknis alat
persuasi (mempengaruhi) politik yaitu deliberatif, forensik dan demonstratif. Retorika
deliberatif
memfokuskan diri pada apa yang akan terjadi dikemudian bila diterapkan sebuah
kebijakan saat sekarang. Retorika forensik lebih memfokuskan pada sifat
yuridis dan berfokus pada apa yang terjadi pada masa lalu untuk menunjukkan
bersalah atau tidak, pertanggungjawaban atau ganjaran. Retorika
demonstartif
memfokuskan pada wacana memuji dengan tujuan memperkuat sifat baik atau sifat
buruk seseorang, lembaga maupun gagasan.
Objek studi retorika adalah kehidupan manusia. Kefasihan
bicara mungkin pertama kali dipertunjukkan dalam upacara adat: kelahiran, kematian,
lamaran, perkawinan, dan sebagainya. Pidato (retorika) disampaikan oleh orang
yang mempunyai status tinggi. Lewis Copeland dalam kata pengantar bukunya
tentang pidato tokoh-tokoh besar dalam sejarah, mengatakan bahwa”penting sekali
diperhatikan adalah catatan peristiwa yang dramatis, yang seringkali disebabkan
oleh para orator hebat.
Sejak Yunani dan Roma sampai zaman kita sekarang, kepandaian
orasi dan kenegarawanan selalu berkaitan. Banyak jago pedang juga terkenal
dengan kefasihan bicaranya yang menawan”.
Uraian sistematis retorika yang pertama diletakkan oleh
orang Syracuse, sebuah koloni Yunani di Pulau Sicilia. Bertahun-tahun
koloni itu diperintah para tiran. Tiran, di mana pun dan pada zaman apa pun,
senang menggusur tanah rakyat. Kira-kira tahun 465 SM, rakyat melancarkan
revolusi. Diktator ditumbangkan dan demokrasi ditegakkan. Pemerintah
mengembalikan lagi tanah rakyat kepada pemiliknya yang sah. Untuk mengambil
haknya, pemilik tanah harus sanggup meyakinkan dewan juri di pengadilan. Waktu
itu, tidak ada pengacara dan tidak ada sertifikat tanah. Setiap orang harus
meyakinkan mahkamah dengan pembicaraan saja. Sering orang tidak berhasil
memperoleh kembali tanahnya, hanya karena ia tidak pandai bicara. Untuk
membantu orang memenangkan haknya di pengadilan, Corax menulis makalah
retorika, yang diberi nama Techne Logon (Seni Kata-kata). Walaupun
makalah ini sudah tidak ada, dari para penulis sezaman, kita mengetahui bahwa
dalam makalah itu ia berbicara tentang “teknik kemungkinan”. Bila kita
tidak dapat memastikan sesuatu, mulailah dari kemungkinan umum. Seorang kaya
mencuri dan dituntut di pengadilan untuk pertama kalinya. Dengan teknik
kemungkinan, kita bertanya, “Mungkinkah seorang yang berkecukupan mengorbankan
kehormatannya dengan mencuri? Bukankah, sepanjang hidupnya, ia tidak pernah
diajukan ke pengadilan karena mencuri”. Sekarang, seorang miskin mencuri dan
diajukan ke pengadilan untuk kedua kalinya. Kita bertanya, “la pernah mencuri
dan pernah dihukum. Mana mungkin ia berani melakukan lagi pekerjaan yang sama”.
Akhirnya, retorika memang mirip “ilmu silat lidah”.
Di samping teknik kemungkinan, Corax meletakkan dasar-dasar
organisasi pesan. Ia membagi pidato pada lima bagian: pembukaan, uraian,
argumen, penjelasan tambahan, dan kesimpulan. Dari sini, para ahli
retorika kelak mengembangkan organisasi pidato. Walaupun demokrasi gaya
Syracuse tidak bertahan lama, ajaran Corax tetap berpengaruh. Konon, Gelon,
penguasa yang menggulingkan demokrasi dan menegakkan kembali tirani, menderita
halitosis (bau mulut). Karena ia tiran yang kejam, tak seorang pun
berani memberitahukan hal itu kepadanya. Sampai di negeri yang asing, seorang
perempuan asing berani menyebutkannya. Ia terkejut. Ia memarahi istrinya, yang
bertahun-tahun begitu dekat dengannya, tetapi tidak memberitahukannya. Istrinya
menjawab bahwa karena ia tidak pernah dekat dengan laki-laki lain, ia mengira
semua laki-laki sama. Gelon tidak jadi menghukum istrinya. Tampaknya, sang
istri sudah belajar retorika dari Corax.
Masih di Pulau Sicilia, tetapi di Agrigenturn, hidup Empedocles
(490-430 SM), filosof, mistikus, politisi, dan sekaligus orator. Ia cerdas dan
menguasai banyak pengetahuan. Sebagai filosof, ia pernah berguru kepada
Pythagoras dan menulis The Nature of Things. Sebagai mistikus, ia
percaya bahwa setiap orang bisa bersatu dengan Tuhan bila ia menjauhi
perbuatan yang tercela. Sebagai politisi, ia memimpin pemberontakan untuk
menggulingkan aristokrasi dan kekuasaan diktator. Sebagai orator, menurut
Aristoteles, “ia mengajarkan prinsip-prinsip retorika, yang kelak dijual
Gorgias kepada penduduk Athena”.
Tahun 427 SM Gorgias dikirim sebagai duta ke Athena. Negeri
itu sedang tumbuh sebagai negara yang kaya. Kelas pedagang kosmopolitan selain
memiliki waktu luang lebih banyak, juga terbuka pada gagasan-gagasan baru. Di
Dewan Perwakilan Rakyat, di pengadilan, orang memerlukan kemampuan berpikir
yang jernih dan logis serta berbicara yang jelas dan persuasif. Gorgias
memenuhi kebutuhan “pasar” ini dengan mendirikan sekolah retorika. Gorgias
menekankan dimensi bahasa yang puitis dan teknik berbicara impromtu (kita
bahas pada Bab II). Ia meminta bayaran yang mahal; sekitar sepuluh ribu drachma
($ 10.000) untuk seorang murid saja. Bersama Protagoras dan kawan-kawan,
Gorgias berpindah dari satu kota ke kota yang lain. Mereka adalah “dosen-dosen
terbang”.
Protagoras menyebut kelompoknya sophistai, “guru
kebijaksanaan” Sejarahwan menyebut mereka kelompok Sophis. Mereka
berjasa mengembangkan retorika dan mempopulerkannya. Retorika, bagi mereka
bukan hanya ilmu pidato, tetapi meliputi pengetahuan sastra, gramatika, dan
logika. Mereka tahu bahwa rasio tidak cukup untuk meyakinkan orang. Mereka
mengajarkan teknik-teknik memanipulasi emosi dan menggunakan prasangka untuk
menyentuh hati pendengar. Berkat kaum Sophis, abad keempat sebelum Masehi
adalah abad retorika. Jago-jago pidato muncul di pesta Olimpiade, di gedung
perwakilan dan pengadilan. Bila mereka bertanding, orang-orang Athena
berdatangan dari tempat-tempat jauh; dan menikmati “adu pidato” seperti
menikmati pertandingan tinju. Kita hanya akan menyebutkan dua tokoh saja
sebagai contoh: Demosthenes dan Isocrates.
Berbeda dengan Gorgias, Demosthenes mengembangkan gaya
bicara yang tidak berbunga-bunga, tetapi jelas dan keras. Dengan cerdik, ia
menggabungkan narasi dan argumentasi. Ia juga amat memperhatikan cara
penyampaian (delivery). Menurut Will Durant, “ia meletakkan rahasia pidato pada
akting (hypocrisis). Berdasarkan keyakinan ini, ia berlatih pidato dengan
sabar. Ia mengulang-ulangnya di depan cermin. Ia membuat gua, dan
berbulan-bulan tinggal di sana, berlatih dengan diam-diam. Pada masa-masa ini,
ia mencukur rambutnya sebelah, supaya ia tidak berani keluar dari
persembunyiannya. Di mimbar, ia melengkungkan tubuhnya, bergerak berputar,
meletakkan tangan di atas dahinya seperti berpikir, dan seringkali mengeraskan
suaranya seperti menjerit.
Demosthenes pernah diusulkan untuk diberi mahkota atas jasa-jasanya
kepada negara dan atas kenegarawanannya. Aeschines, orator lainnya, menentang
pemberian mahkota dan memandangnya tidak konstitusional. Di depan Mahkamah yang
terdiri dari ratusan anggota juri, ia melancarkan kecamannya kepada
Demosthenes. Pada gilirannya, Demosthenes menyerang Aeschines dalam pidatonya
yang terkenal Perihal Mahkota. Dewan juri memihak Demosthenes dan
menuntut Aeschines untuk membayar denda. Aeschines lari ke Rhodes dan hidup
dari kursus retorika yang tidak begitu laku. Konon, Demosthenes mengirimkan
uang kepadanya untuk membebaskannya dari kemiskinan. Persaudaraan karena
profesi!
Duel antara dua orator itu telah dikaji sepanjang sejarah.
Inilah buah pendidikan yang dirintis oleh kaum Sophis. Tetapi ini juga
yang membentuk citra negatif tentang kaum Sophis. Seorang tokoh yang berusaha
mengembangkan retorika dengan menyingkirkan Sophisme negatif adalah Isocrates.
Isocrates percaya bahwa retorika dapat meningkatkan kualitas masyarakat; bahwa
retorika tidak boleh dipisahkan dari politik dan sastra. Tetapi ia menganggap
tidak semua orang boleh diberi pelajaran ini. Retorika menjadi sebuah pelajaran
elit, hanya untuk mereka yang berbakat.
Ia mendirikan sekolah retorika yang paling berhasil tahun
391 SM. Ia mendidik muridnya menggunakan kata-kata dalam susunan yang jernih
tetapi tidak berlebih-lebihan, dalam rentetan anak kalimat yang seimbang dengan
pergeseran suara dan gagasan yang lancar. Karena ia tidak mempunyai suara yang
baik dan keberanian untuk tampil, ia hanya menuliskan pidatonya. Ia menulis
risalah-risalah pendek dan menyebarkannya. Sampai sekarang risalah-risalah ini
dianggap warisan prosa Yunani yang menakjubkan. Gaya bahasa Isocrates telah
mengilhami tokoh-tokoh retorika sepanjang zaman: Cicero, Milton, Massillon,
Jeremy Taylor, dan Edmund Burke. Salah satu risalah yang ditulisnya mengkritik
kaum Sophis. Risalah ini ikut membantu berkembangnya kebencian kepada kaum
Sophis. Di samping itu, kaum Sophis kebanyakan para pendatang asing di Athena.
Orang selalu mencurigai yang dibawa orang asing. Apalagi mereka mengaku
mengajarkan kebijaksanaan dengan menuntut bayaran. Yang tidak sanggup membayar
tentu saja melepaskan kekecewaannya dengan mengecam mereka. Socrates, misalnya,
hanya sanggup membayar satu drachma untuk kursus yang diberikan Prodicus.
Karena itu, ia hanya memperoleh dasar-dasar bahasa yang sangat rendah saja.
Socrates mengkritik kaum Sophis sebagai para prostitut.
Orang yang menjual kecantikan untuk memperoleh uang, kata Socrates, adalah
prostitut. Begitu juga, orang yang menjual kebijaksanaan. Murid Socrates yang
menerima pendapat gurunya tentang Sophisme adalah Plato. Plato menjadikan
Gorgias dan Socrates sebagai contoh retorika yang palsu dan retorika yang
benar, atau retorika yang berdasarkan pada Sophisme dan retorika yang
berdasarkan pada filsafat. Sophisme mengajarkan kebenaran yang relatif.
Filsafat membawa orang kepada pengetahuan yang sejati. Ketika merumuskan
retorika yang benar – yang membawa orang kepada hakikat – Plato membahas
organisasi, gaya, dan penyampaian pesan. Dalam karyanya, Dialog, Plato
menganjurkan para pembicara untuk mengenal “jiwa” pendengarnya. Dengan
demikian, Plato meletakkan dasar-dasar retorika ilmiah dan psikologi khalayak.
Ia telah mengubah retorika sebagai sekumpulan teknik (Sophisme) menjadi sebuah
wacana ilmiah.
Aristoteles, murid Plato yang paling cerdas melanjutkan
kajian retorika ilmiah. Ia menulis tiga jilid buku yang berjudul De Arte
Rhetorica. Dari Aristoteles dan ahli retorika klasik, kita memperoleh lima
tahap penyusunan pidato: terkenal sebagai Lima Hukum Retorika (The Five Canons
of Rhetoric). Inventio (penemuan). Pada tahap ini, pembicara menggali
topik dan meneliti khalayak untuk mengetahui metode persuasi yang paling tepat.
Bagi Aristoteles, retorika tidak lain daripada “kemampuan untuk menentukan,
dalam kejadian tertentu dan situasi tertentu, metode persuasi yang ada”. Dalam
tahap ini juga, pembicara merumuskan tujuan dan mengumpulkan bahan (argumen)
yang sesuai dengan kebutuhan khalayak.
Aristoteles menyebut tiga cara untuk mempengaruhi manusia. Pertama,
Anda harus sanggup menunjukkan kepada khalayak bahwa Anda memiliki
pengetahuan yang luas, kepribadian yang terpercaya, dan status yang terhormat
(ethos). Kedua, Anda harus Menyentuh hati khalayak perasaan, emosi,
harapan, kebencian dan kasih sayang mereka (pathos). Kelak, para ahli retorika
modern menyebutnya imbauan emotional (emotional appeals). Ketiga, Anda
Meyakinkan khalayak dengan mengajukan bukti atau yang kelihatan sebagai bukti.
Di sini Anda mendekati khalayak lewat otaknya (logos).
Di samping ethos, pathos, dan logos, Aristoteles
menyebutkan dua cara lagi yang efektif untuk mempengaruhi pendengar: entimem
dan contoh. Entimem (Bahasa Yunani: “en” di dalam dan “thymos” pikiran)
adalah sejenis silogisme yang tidak lengkap, tidak untuk menghasilkan
pembuktian ilmiah, tetapi untuk menimbulkan keyakinan. Disebut tidak lengkap,
karena sebagian premis dihilangkan.
Sebagaimana Anda ketahui, silogisme terdiri atas tiga
premis: mayor, minor, dan kesimpulan. Semua manusia mempunyai perasaan iba
kepada orang yang menderita (mayor). Anda manusia (minor). Tentu Anda pun
mempunyai perasaan yang sama (kesimpulan). Ketika saya ingin mempengaruhi Anda
untuk mengasihi orang-orang yang menderita, saya berkata, “Kasihanilah mereka. Sebagai
manusia, Anda pasti mempunyai perasaan iba kepada orang yang menderita “. Ucapan
yang ditulis miring menunjukkan silogisme, yang premis mayornya dihilangkan. Di
samping entimem, contoh adalah cara lainnya. Dengan mengemukakan beberapa
contoh, secara induktif Anda membuat kesimpulan umum. Sembilan dari sepuluh
bintang film menggunakan sabun Lnx. Jadi, sabun Lux adalah sabun para bintang
film.
Dispositio (penyusunan). Pada tahap ini, pembicara menyusun
pidato atau mengorganisasikan pesan. Aristoteles menyebutnya taxis, yang
berarti pembagian. Pesan harus dibagi ke dalam beberapa bagian yang berkaitan
secara logis. Susunan berikut ini mengikuti kebiasaan berpikir manusia:
pengantar, pernyataan, argumen, dan epilog. Menurut Aristoteles, pengantar
berfungsi menarik perhatian, menumbuhkan kredibilitas (ethos), dan menjelaskan
tujuan.
Elocutio (gaya). Pada tahap ini, pembicara memilih
kata-kata dan menggunakan bahasa yang tepat untuk “mengemas” pesannya. Aristoteles
memberikan nasihat ini: gunakan bahasa yang tepat, benar, dan dapat diterima;
pilih kata-kata yang jelas dan langsung; sampaikan kalimat yang indah, mulia,
dan hidup; dan sesuaikan bahasa dengan pesan, khalayak, dan pembicara.
Memoria (memori). Pada tahap ini, pembicara harus
mengingat apa yang ingin disampaikannya, dengan mengatur bahan-bahan pembicaraannya.
Aristoteles menyarankan “jembatan keledai” untuk memudahkan ingatan. Di antara
semua peninggalan retorika klasik, memori adalah yang paling kurang mendapat
perhatian para ahli retorika modern.
Pronuntiatio (penyampaian). Pada tahap ini, pembicara menyampaikan
pesannya secara lisan. Di sini, akting sangat berperan. Demosthenes
menyebutnya hypocrisis (boleh jadi dari sini muncul kata hipokrit).
Pembicara harus memperhatikan olah suara (vocis) dan gerakangerakan,anggota
badan (gestus moderatio cum venustate).
1. RETORIKA ZAMAN ROMAWI
Teori retorika Aristoteles sangat sistematis dan
komprehensif. Pada satu sisi, retorika telah memperoleh dasar teoretis yang
kokoh. Namun, pada sisi lain, uraiannya yang lengkap dan persuasif telah
membungkam para ahli retorika yang datang sesudahnya. Orang-orang Romawi selama
dua ratus tahun setelah tidak menambahkan apa-apa yang berarti bagi
perkembangan retorika.
Buku Ad Herrenium, yang ditulis dalam bahasa Latin
kira-kira 100 SM, hanya mensistematisasikan dengan cara Romawi warisan retorika
gaya Yunani. Orang-orang Romawi bahkan hanya mengambil segi-segi praktisnya
saja. Walaupun begitu, kekaisaran Romawi bukan saja subur dengan
sekolah-sekolah retorika; tetapi juga kaya dengan orator-orator ulung:
Antonius, Crassus, Rufus, Hortensius. Yang disebut terakhir terkenal begitu
piawai dalam berpidato sehingga para artis berusaha mempelajari gerakan dan
cara penyampaiannya.
Kemampuan Hortensius disempurnakan oleh Cicero. Karena dibesarkan
dalam keluarga kaya dan menikah dengan istri yang memberinya kehormatan dan
uang, Cicero muncul sebagai negarawan dan cendekiawan. Pernah hanya dalam dua
tahun (45-44 SM), ia menulis banyak buku filsafat dan lima buah buku retorika.
Dalam teori, ia tidak banyak menampilkan penemuan baru. Ia banyak mengambil
gagasan dari Isocrates. Ia percaya bahwa efek pidato akan baik, bila yang berpidato
adalah orang baik juga. The good man speaks well. Dalam praktek, Cicero
betul-betul orator yang sangat berpengaruh.
Caesar, penguasa Romawi yang ditakuti, memuji Cicero,
“Anda telah menemukan semua khazanah retorika, dan Andalah orang pertama yang
menggunakan semuanya. Anda telah memperoleh kemenangan yang lebih disukai dari
kemenangan para jenderal. Karena sesungguhnya lebih agung memperluas
batas-batas kecerdasan manusia daripada memperluas batas-batas kerajaan
Romawi”. Kira-kira 57 buah pidatonya sampai kepada kita sekarang ini. Will
Durant menyimpulkan kepada kita gaya pidatonya:
“Pidatonya mempunyai kelebihan dalam menyajikan secara
bergelora satu sisi masalah atau karakter; dalam menghibur khalayak dengan
humor dan anekdot; dalam menyentuh kebanggaan, prasangka, perasaan, patriotisme
dan kesalehan; dalam mengungkapkan secara keras kelemahan lawan – yang
sebenarnya atau yang diberitakan, yang tersembunyi atau yang terbuka;
dalam mengalihkan perhatian secara terampil dari pokok-pokok pembicaraan yang
kurang menguntungkan; dalam memberondong pertanyaan retoris yang sulit dijawab;
dalam menghimpun serangan-serangan, dengan kalimat-kalimat periodik yang
anak-anaknya seperti cambukan dan yang badainya membahana….”
Dari tulisan-tulisannya yang sampai sekarang bisa dibaca,
kita mengetahui bahwa Cicero sangat terampil dalam menyederhanakan pembicaraan
yang sulit. Bahasa Latinnya mudah dibaca. Melalui penanya, bahasa mengalir
dengan deras tetapi indah. Puluhan tahun sepeninggal Cicero, Quintillianus
mendirikan sekolah retorika. Ia sangat mengagumi Cicero dan berusaha
merumuskan teori-teori retorika dari pidato dan tulisannya. Apa yang
dapat kita pelajari dari Quintillianus? Banyak. Secara singkat, Will Durant
menceritakan kuliah retorika Quantillianus, yang dituliskannya dalam buku Institutio
Oratoria:
Ia mendefinisikan retorika sebagai ilmu berbicara yang baik.
Pendidikan orator harus dimulai sebelum dia lahir: Ia sebaiknya berasal dari keluarga
terdidik, sehingga ia bisa menerima ajaran yang benar dan akhlak yang baik
sejak napas yang ia hirup pertama kalinya. Tidak mungkin menjadi terpelajar dan
terhormat hanya dalam satu generasi. Calon orator harus mempelajari musik
supaya ia mempunyai telinga yang dapat mendengarkan harmoni; tarian, supaya ia
memiliki keanggunan dan ritma; drama, untuk menghidupkan kefasihannya dengan
gerakan dan tindakan; gimnastik, untuk memberinya kesehatan dan kekuatan;
sastra, untuk membenhik gaya dan melatih memorinya, dan memperlengkapinya
dengan pemikiran-pemikiran besar; sains, untuk memperkenalkan dia dengan
pemahaman mengenai alam; dan filsafat, untuk membentuk karakternya berdasarkan
petunjuk akal dan bimbingan orang bijak. Karena semua persiapan tidak ada manfaatnya
jika integritas akhlak dan kemuliaan rohani tidak melahirkan ketulusan bicara
yang tak dapat ditolak. Kemudian, pelajar retorika harus menulis sebanyak dan
secermat mungkin.
2. RETORIKA ABAD PERTENGAHAN
Sejak zaman Yunani sampai zaman Romawi, retorika selalu
berkaitan dengan kenegarawanan. Para orator umumnya terlibat dalam kegiatan
politik. Ada dua cara untuk memperoleh kemenangan politik: talk it out (‘membicarakan
sampai tuntas) atau shoot it out (menembak sampai habis). Retorika
subur pada cara pertama, cara demokrasi. Ketika demokrasi Romawi mengalami
kemunduran, dan kaisar demi kaisar memegang pemerintahan, “membicarakan”
diganti dengan “menembak”. Retorika tersingkir ke belakang panggung. Para
kaisar tidak senang mendengar orang yang pandai berbicara.
Abad pertengahan sering disebut abad kegelapan, juga buat
retorika. Ketika agama Kristen berkuasa, retorika dianggap sebagai kesenian
jahiliah. Banyak orang Kristen waktu itu melarang mempelajari retorika yang
dirumuskan oleh orang-orang Yunani dan Romawi, para penyembah berhala. Bila
orang memeluk agama Kristen, secara otomatis ia akan memiliki kemampuan untuk
nmnyampaikan kebenaran. St. Agustinus, yang telah mempelajari retorika sebelum
masuk Kristen tahun 386, adalah kekecualian pada zaman itu.
Dalam On Christian Doctrine (426), ia menjelaskan
bahwa para pengkhotbah harus sanggup mengajar, menggembirakan, dan menggerakkan
– yang oleh Cicero disebut sebagai kewajiban orator. Untuk mencapai tujuan
Kristen, yakni mengungkapkan kebenaran, kita harus mempelajari teknik
penyampaian pesan.
Satu abad kemudian, di Timur muncul peradaban baru. Seorang
Nabi menyampaikan firman Tuhan, “Berilah mereka nasihat dan berbicaralah kepada
mereka dengan pembicaraan yang menyentuh jiwa mereka” (Alquran 4:63). Muhammad
saw. bersabda, memperteguh firman Tuhan ini, “Sesungguhnya dalam kemampuan
berbicara yang baik itu ada sihirnya”.
Ia sendiri seorang pembicara yang fasih – dengan kata-kata
singkat yang mengandung makna padat. Para sahabatnya bercerita bahwa
ucapannya sering menyebabkan pendengar berguncang hatinya dan berlinang air
matanya. Tetapi ia tidak hanya menyentuh hati, ia juga mengimbau akal para
pendengarnya. Ia sangat memperhatikan orang-orang yang dihadapinya, dan
menyesuaikan pesannya dengan keadaan mereka. Ada ulama yang mengumpulkan khusus
pidatonya dan menamainya Madinat al-Balaghah (Kota Balaghah). Salah
seorang sahabat yang paling dikasihinya, Ali bin Abi Thalib, mewarisi ilmunya
dalam berbicara. Seperti dilukiskan Thomas Carlyle, “every antagonist in the
combats of tongue or of sword was subdited by his eloquence and valor”. Pada
Ali bin Abi Thalib, kefasihan dan kenegarawanan bergabung kembali.
Khotbah-khotbahnya dikumpulkan dengan cermat oleh para pengikutnya dan diberi
judul Nahj al-Balaghah (Jalan Balaghah).
Balaghah menjadi disiplin ilmu yang menduduki status yang
mulia dalam peradaban Islam. Kaum Muslim menggunakan balaghah sebagai pengganti
retorika. Tetapi, warisan retorika Yunani, yang dicampakkan di Eropa Abad
Pertengahan, dikaji dengan tekun oleh para ahli balaghah. Sayang, sangat
kurang sekali studi berkenaan dengan kontribusi Balaghah pada retorika modern.
Balaghah, beserta ma’ani dan bayan, masih tersembunyi di
pesantren-pesantren dan lembaga-lembaga pendidikan Islam tradisional.
3. RETORIKA MODERN
Abad Pertengahan berlangsung selama seribu tahun (400-1400).
Di Eropa, selama periode panjang itu, warisan peradaban Yunani diabaikan.
Pertemuan orang Eropa dengan Islam – yang menyimpan dan mengembangkan khazanah
Yunani – dalam Perang Salib menimbulkan Renaissance. Salah seorang pemikir
Renaissance yang menarik kembali minat orang pada retorika adalah Peter Ramus.
Ia membagi retorika pada dua bagian. Inventio dan dispositio dimasukkannya
sebagai bagian logika. Sedangkan retorika hanyalah berkenaan dengan elocutio
dan pronuntiatio saja. Taksonomi Ramus berlangsung selama beberapa
generasi.
Renaissance mengantarkan kita kepada retorika modern. Yang
membangun jembatan, menghubungkan Renaissance dengan retorika modern adalah
Roger Bacon (1214-1219). Ia bukan saja memperkenalkan metode eksperimental,
tetapi juga pentingnya pengetahuan tentang proses psikologis dalam studi
retorika. Ia menyatakan, “… kewajiban retorika ialah menggunakan rasio dan imajinasi
untuk menggerakkan kemauan secara lebih baik”. Rasio, imajinasi, kemauan adalah
fakultas-fakultas psikologis yang kelak menjadi kajian utama ahli retorika
modern.
Aliran pertama retorika dalam masa modern, yang menekankan
proses psikologis, dikenal sebagai aliran epistemologis. Epistemologi
membahas “teori pengetahuan”; asal-usul, sifat, metode, dan batas-batas
pengetahuan manusia. Para pemikir epistemologis berusaha mengkaji retorika
klasik dalam sorotan perkembangan psikologi kognitif (yakni, yang membahas
proses mental).
George Campbell (1719-1796), dalam bukunya The Philosophy
of Rhetoric, menelaah tulisan Aristoteles, Cicero, dan Quintillianus dengan
pendekatan psikologi fakultas (bukan fakultas psikologi). Psikologi fakultas
berusaha menjelaskan sebab-musabab perilaku manusia pada empat fakultas – atau
kemampuan jiwa manusia: pemahaman, memori, imajinasi, perasaan, dan kemauan.
Retorika, menurut definisi Campbell, haruslah diarahkan kepada upaya
“mencerahkan pemahaman, menyenangkan imajinasi, menggerakkan perasaan, dan
mempengaruhi kemauan”.
Richard Whately mengembangkan retorika yang dirintis
Campbell. Ia mendasarkan teori retorikanya juga pada psikologi fakultas. Hanya
saja ia menekankan argumentasi sebagai fokus retorika. Retorika harus mengajarkan
bagaimana mencari argumentasi yang tepat dan mengorganisasikannya secara baik.
Baik Whately maupun Campbell menekankan pentingnya menelaah proses berpikir
khalayak. Karena itu, retorika yang berorientasi pada khalayak
(audience-centered) berutang budi pada kaum epistemologis – aliran pertama
retorika modern.
Aliran retorika modern kedua dikenal sebagai gerakan belles
lettres (Bahasa Prancis: tulisan yang indah). Retorika belletris sangat
mengutamakan keindahan bahasa, segi-segi estetis pesan, kadang-kadang dengan
mengabaikan segi informatifnya. Hugh Blair (1718-1800) menulis Lectures on
Rhetoric and Belles Lettres. Di sini ia menjelaskan hubungan antara
retorika, sastra, dan kritik. Ia memperkenalkan fakultas citarasa (taste),
yaitu kemampuan untuk memperoleh kenikmatan dari pertemuan dengan apa pun yang
indah. Karena memiliki fakultas citarasa, Anda senang mendengarkan musik yang
indah, membaca tulisan yang indah, melihat pemandangan yang indah, atau
mencamkan pidato yang indah. Citarasa, kata Blair, mencapai kesempurnaan ketika
kenikmatan inderawi dipadukan dengan rasio – ketika rasio dapat menjelaskan
sumber-sumber kenikmatan.
Aliran pertama (epistemologi) dan kedua (belles lettres)
terutama memusatkan perhatian mereka pada persiapan pidato – pada penyusunan
pesan dan penggunaan bahasa. Aliran ketiga – disebut gerakan elokusionis – justru
menekankan teknik penyampaian pidato. Gilbert Austin, misalnya memberikan
petunjuk praktis penyampaian pidato, “Pembicara tidak boleh melihat melantur.
Ia harus mengarahkan matanya langsung kepada pendengar, dan menjaga
ketenangannya. Ia tidak boleh segera melepaskan seluruh suaranya, tetapi
mulailah dengan nada yang paling rendah, dan mengeluarkan suaranya sedikit
saja; jika ia ingin mendiamkan gumaman orang dan mencengkeram perhatian
mereka”. James Burgh, misal yang lain, menjelaskan 71 emosi dan cara
mengungkapkannya.
Dalam perkembangan, gerakan elokusionis dikritik karena perhatian
– dan kesetiaan – yang berlebihan pada teknik. Ketika mengikuti kaum elokusionis,
pembicara tidak lagi berbicara dan bergerak secara spontan. Gerakannya menjadi
artifisial. Walaupun begitu, kaum elokusionis telah berjaya dalam melakukan
penelitian empiris sebelum merumuskan “resep-resep” penyampaian pidato.
Retorika kini tidak lagi ilmu berdasarkan semata-mata “otak-atik otak” atau
hasil perenungan rasional saja. Retorika, seperti disiplin yang lain,
dirumuskan dari hasil penelitian empiris.
Pada abad kedua puluh, retorika mengambil manfaat dari
perkembangan ilmu pengetahuan modern – khususnya ilmu-ilmu perilaku seperti
psikologi dan sosiologi. Istilah retorika pun mulai digeser oleh speech,
speech communication, atau oral communication, atau public speaking.
Di bawah ini diperkenalkan sebagian dari tokoh-tokoh retorika mutakhir:
1. James A Winans
Ia adalah perintis penggunaan psikologi modern dalam
pidatonya. Bukunya, Public Speaking, terbit tahun 1917 mempergunakan
teori psikologi dari William James dan E.B. Tichener. Sesuai dengan teori James
bahwa tindakan ditentukan oleh perhatian, Winans, mendefinisikan persuasi
sebagai “proses menumbuhkan perhatian yang memadai baik dan tidak terbagi
terhadap proposisi-proposisi”. Ia menerangkan pentingnya membangkitkan emosi
melalui motif-motif psikologis seperti kepentingan pribadi, kewajiban sosial
dan kewajiban agama. Cara berpidato yang bersifat percakapan (conversation) dan
teknik-teknik penyampaian pidato merupakan pembahasan yang amat berharga.
Winans adalah pendiri Speech Communication Association of America (1950).
2. Charles Henry Woolbert
Ia pun termasuk pendiri the Speech Communication
Association of America. Kali ini psikologi yang amat mempengaruhinya adalah
behaviorisme dari John B. Watson. Tidak heran kalau Woolbert memandang “Speech
Communication” sebagai ilmu tingkah laku. Baginya, proses penyusunan pidato
adalah kegiatan seluruh organisme. Pidato merupakan ungkapan kepribadian.
Logika adalah dasar utama persuasi. Dalam penyusunan persiapan pidato, menurut
Woolbert harus diperhatikan hal-hal berikut: (1) teliti tujuannya, (2) ketahui
khalayak dan situasinya, (3) tentukan proposisi yang cocok dengan khalayak dan
situasi tersebut, (4) pilih kalimat-kalimat yang dipertalikan secara logis.
Bukunya yang terkenal adalah The Fundamental of Speech.
3. William Noorwood Brigance
Berbeda dengan Woolbert yang menitikberatkan logika,
Brigance menekankan faktor keinginan (desire) sebagai dasar persuasi.
“Keyakinan”, ujar Brigance, “jarang merupakan hasil pemikiran. Kita cenderung
mempercayai apa yang membangkitkan keinginan kita, ketakutan kita dan emosi
kita”. Persuasi meliputi empat unsur: (1) rebut perhatian pendengar, (2)
usahakan pendengar untuk mempercayai kemampuan dan karakter Anda, (3)
dasarkanlah pemikiran pada keinginan, dan (4) kembangkan setiap gagasan sesuai
dengan sikap pendengar.
4. Alan H. Monroe
Bukunya, Principles and Types of Speech, banyak kita
pergunakan dalam buku ini. Dimulai pada pertengahan tahun 20-an Monroe beserta
stafnya meneliti proses motivasi (motivating process). Jasa, Monroe yang
terbesar adalah cara organisasi pesan. Menurut Monroe, pesan harus disusun
berdasarkan proses berpikir manusia yang disebutnya motivated sequence.
Beberapa
sarjana retorika modern lainnya yang patut kita sebut antara lain A.E. Philips (Effective
Speaking, 1908), Brembeck dan Howell (Persuasion: A Means of Social
Control, 1952), R.T. Oliver (Psychology of Persuasive Speech, 1942). Di
Jerman, selain tokoh “notorious” Hitler, dengan bukunya Mein Kampf, maka
Naumann (Die Kunst der Rede, 1941), Dessoir (Die Rede als Kunst,
1984) dan Damachke (Volkstumliche Redekunst, 1918) adalah pelopor
retorika modern juga
Dewasa ini retorika sebagai public speaking, oral
communication, atau speech communication -diajarkan dan diteliti
secara ilmiah di lingkungan akademis. Pada waktu mendatang, ilmu ini tampaknya
akan diberikan juga pada mahasiswa-mahasiswa di luar ilmu sosial. Dr. Charles
Hurst mengadakan penelitian tentang pengaruh speech courses terhadap
prestasi akademis mahasiswa. Hasilnya membuktikan bahwa pengaruh itu cukup
berarti. Mahasiswa yang memperoleh pelajaran speech (speech group)
mendapat skor yang lebih tinggi dalam tes belajar dan berpikir, lebih
terampil dalam studi dan lebih baik dalam hasil akademisnya dibanding dengan
mahasiswa yang tidak memperoleh ajaran itu. Hurst menyimpulkan: Data penelitian
ini menunjukkan dengan jelas bahwa kuliah speech tingkat dasar adalah
agen synthesa, yang memberikan dasar skematis bagi mahasiswa untuk
berpikir lebih teratur dan memperoleh penguasaan yang lebih baik terhadap aneka
fenomena yang membentuk kepribadian. Penelitian ini menjadi penting bagi kita,
bukan karena dilengkapi dengan data statistik yang meyakinkan atau karena
berhasil memberikan gelar doktor bagi Hurst, tetapi karena erat kaitannya
dengan prospek retorika di masa depan.
BAB II
C. TUJUAN RETORIKA
Tujuan
retorika adalah persuasi, yang dimaksudkan dalam persuasi dalam hubungan ini
adalah yakinnya pendengar akan kebenaran gagasan hal yang dibicarakan
pembicara. Artinya bahwa tujuan retorika adalah membina saling pengertian yang
mengembangkan kerjasama dalam menumbuhkan kedamaian dalam kehidupan
bermasyarakat lewat kegiatan bertutur.
D. FUNGSI RETORIKA
Membimbing penutur mengambil keputusan yang tepat.
Membimbing penutur secara lebih baik memahami masalah
kejiwaan manusia pada umumnya dan kejiwaan penanggap tutur yang akan dan sedang
dihadapi.
Membimbing penutur menemukan ulasan yang baik.
Membimbing penutur mempertahankan diri serta mempertahankan
kebenaran dengan alasan yang masuk akal.
Aristoteles berpendapat bahwa retorika itu sendiri
sebenarnya bersifat netral. Maksudnya adalah orator itu sendiri bisa memiliki
tujuan yang mulia atau justru hanya menyebarkan omongan yang gombal atau bahkan
dusta belaka. Menurutnya, “…by using these justly one would do the greatest
good, and unjustly, the greatest harm” (1991: 35). Aristoteles masih
percaya bahwa moralitas adalah yang paling utama dalam retorika. Akan tetapi
dia juga menyatakan bahwa retorika adalah seni. Retorika yang sukses adalah
yang mampu memenuhi dua unsur, yaitu kebijaksanaan (wisdom) dan
kemampuan dalam mengolah kata-kata (eloquence).
Rethoric, salah satu karya terbesar
Aristoteles, banyak dilihat sebagai studi tentang psikologi khalayak yang
sangat bagus. Aristoteles dinilai mampu membawa retorika menjadi sebuah ilmu,
dengan cara secara sistematis menyelidiki efek dari pembicara, orasi, serta
audiensnya. Orator sendiri dilihat oleh Aristoteles sebagai orang yang
menggunakan pengetahuannya sebagai seni. Jadi, orasi atau retorika adalah seni
berorasi.
Aristoteles melihat fungsi retorika sebagai komunikasi
‘persuasif’, meskipun dia tidak menyebutkan hal ini secara tegas. Meskipun
begitu, dia menekankan bahwa retorika adalah komunikasi yang sangat menghindari
metode yang kohersif.
Aristoteles kemudian menyebutkan tentang klasifikasi tiga
kondisi audiens dalam studi retorika. Klasifikasi yang pertama adalah courtroom
speaking, yaitu yang dicontohkan dengan situasi ketika hakim sedang menimbang
untuk memutuskan tersangka bersalah atau tidak bersalah dalam suatu sidang
peradilan. Ketika seorang Penuntut dan Pembela beradu argumentasi dalam
persidangan tersebut, maka keduanya telah melakukan judicial rethoric.
Yang kedua adalah political speaking, yang bertujuan
untuk mempengaruhi legislator atau pemilih untuk ikut serta dalam pilihan
politik tertentu. Debat dalam kampanye termasuk dalam kategori ini. Sedangkan
yang ketiga adalah ceremonial speaking, di mana yang dilakukan adalah
upaya mendapatkan sanjungan atau menyalahkan pihak lain guna mendapatkan
perhatian dari khalayak. Mungkin yang masuk kategori ini semacam tabligh akbar
atau sejenisnya.
Karena muridnya terbiasa dengan metode dialectic Socrates,
yaitu metode diskusi tanya-jawab, one-on-one discussion, maka
Aristoteles menyebutkan retorika adalah kebalikannya. Retorika adalah diksusi
dari satu orang kepada banyak orang. Jika dialectic adalah upaya untuk
mencari kebenaran, maka retorika mencoba menunjukkan kebenaran yang telah
diketemukan sebelumnya. Dialectic menjawab pertanyaan filosofis yang
umum, retorika hanya fokus pada satu hal saja. Dialectic berurusan
dengan kepastian, sedang retorika berurusan dengan probabilitas (kemungkinan).
Menurutnya, retorika adalah seni untuk mengungkapkan suatu kebenaran kepada
khalayak yang belum yakin sepenuhnya terhadap kebenaran tersebut, dengan cara
yang paling cocok atau sesuai.
Menurut Aristoteles, kualitas persuasi dari retorika
bergantung kepada tiga aspek pembuktian, yaitu logika (logos), etika (ethos),
dan emosional (pathos). Pembuktian logika berangkat dari argumentasi
pembicara atau orator itu sendiri, pembuktian etis dilihat dari bagaimana
karakter dari orator terungkap melalui pesan-pesan yang disampaikannya dalam
orasi, dan pembuktian emosional dapat dirasakan dari bagaimana transmisi
perasaan dari orator mampu tersampaikan kepada khalayaknya.
Aristoteles mengutarakan tentang dua konsep pembuktian logis
(logical proof), yakni enthymeme dan example (contoh). Enthymeme
sendiri adalah semacam silogisme yang belum sempurna. Berikut ini contohnya:
Premis
mayor : Semua manusia memiliki derajat yang sama
Premis
minor : Saya adalah manusia
Konklusi
: Maka saya memiliki derajat yang sama
Dalam entymeme, biasanya hanya menggunakan premis
“semua manusia memiliki derajat yang sama dengan manusia yang lain…..Saya
memiliki derajat yang sama”, tanpa perlu menggunakan premis “saya adalah
manusia”.
Entymeme ini digunakan dengan tujuan agar
khalayak menggunakan kerangka logika tertentu, sehingga mereka semacam
diberikan ‘ruang’ untuk menafsirkan premis yang digunakan dalam silogisme yang
dimaksud oleh orator tadi. Dengan memberikan ‘ruang’ tadi pada dasarnya
khalayak digiring untuk menggunakan cara berpikir yang sama dengan apa yang dipikirkan
oleh orator. Sejauh orasi yang digunakan dapat masuk ke dalam logika khalayak
tadi, maka pembuktian logis dari orasi yang dilakukan akan terasa cukup
efektif.
Enthymeme kemudian diperkuat dengan example
atau contoh. Jika enthymeme digunakan sebagai pembentuk logika atau
kerangka berpikir, maka contoh dipakai untuk memperkuat pembuktian dengan
detail contoh-contoh dari pemikiran yang dimaksudkan sebelumnya.
Pembuktian etis (ethical proof) menurut Aristoteles
berpulang kepada kredibilitas dari orator tersebut. Retorika yang baik tidak
hanya mengandalkan kata-kata yang baik semata, melainkan bahwa oratornya
sendiri juga harus ‘terlihat’ memiliki kredibilitas. Karena seringkali khalayak
sudah cukup terpesona kepada seseorang, bahkan sebelum orang tersebut berpidato
atau berorasi. Sebelum kata-kata keluar dari mulut orang tersebut.
Dalam Rethoric, Aristoteles menyebutkan tentang tiga
sumber kredibilitas yang baik, yaitu intelligence, character, dan
goodwill.
Intelligence atau kecerdasan lebih kepada
persoalan kebijaksanaan dan kemampuan dalam berbagi nilai atau kepercayaan
antara orator dengan khalayaknya. Maksudnya adalah khalayak seringkali menilai
bahwa orator tersebut ‘cerdas’ adalah sejauh mana mereka sepakat atau memiliki
kesamaan pemikiran, cara berpikir, atau ide dengan orator tersebut. Orator yang
cerdas, oleh karenanya mampu menyesuaikan diri atau mampu membaca cara berpikir
khalayaknya, untuk kemudian disesuaikan dengan cara berpikirnya.
Character lebih kepada citra orator sebagai
orang yang baik dan orang yang jujur. Jika seorang orator mampu memiliki citra
sebagai orang yang baik dan jujur, apapun kata-kata yang disampaikan dalam
orasinya maka khalayak cenderung lebih mudah untuk percaya. Begitu pula
sebaliknya, jika orator yang bersangkutan memiliki citra yang kurang baik maka
sebaik apapun kata-kata yang disampaikannya khalayak sulit untuk percaya.
Good will atau niat baik, adalah penilaian
positif yang coba ditularkan oleh orator kepada khalayaknya. Seorang orator
mungkin mampu memperlihatkan kecerdasannya, menunjukkan karakter
kepribadiannya, akan tetapi belum tentu mampu ‘menyentuh hati’ khalayaknya.
Niat baik ini biasanya dapat dirasakan oleh hati khalayak.
Pembuktian emosional (emotional proof). Di sini
orator dituntut untuk mampu menyesuaikan suasana emosional yang ingin dicapai
dalam sebuah orasi. Orator yang cerdas mampu mengendalikan suasana emosi yang
diinginkan, bukan apa yang diinginkan khalayak, akan tetapi lebih kepada apa
yang diinginkan oleh orator itu sendiri. Dengan mengetahui karakteristik
khalayak, pemahaman yang mendalam terhadap berbagai macam karakter emosi,
diharapkan retorika yang dilakukan dapat berjalan efektif.
Walaupun banyak ilmuwan menyatakan bahwa sebenarnya
pemikiran Aristoteles tentang retorika itu rumit, mereka kemudian
menyederhanakan pemikiran tersebut ke dalam empat konsep tentang bagaimana
mengukur kualitas seorang orator yang baik. Keempat hal tersebut adalah
bagaimana menciptakan argumentasi (invention), menyusun bahan-bahan atau
materi argumentasi (arrangement), pemilihan bahasa (style), dan
bagaimana teknik penyampaiannya (tecniques of delivery).
Untuk menciptakan argumentasi yang baik, orator dituntut
untuk memiliki pengetahuan yang luas, kemampuan penalaran dan logika yang baik
dalam berbagai macam bentuk pembicaraan. Penguasaan terhadap berbagai macam
topik, isu, informasi, data, dan sejenisnya, dapat dijadikan sebagai memori
yang setiap saat mampu dibentuk menjadi argumentasi ketika orasi dilakukan.
Semakin banyak memori yang dimiliki maka akan semakin mudah untuk menciptakan
argumentasi yang baik.
Aristoteles mengingatkan tentang pentingnya penyusunan atau
pentahapan argumentasi itu sendiri. Menurutnya, pada awal-awal orasi baiknya
adalah sebagai upaya untuk menarik perhatian dari khalayak, menjaga
kredibilitas, dan kemudian memperjelas maksud atau tujuan dari pembicaraan atau
orasi itu sendiri. Yang terakhir adalah konklusi, yang sebaiknya adalah
mengupayakan bagaimana khalayak akan selalu mengingat apa-apa yang telah kita
katakan, dan kita meninggalkan khalayak dengan citra yang positif tentang diri
kita dan ide-ide yang telah kita sampaikan kepada mereka.
Style atau gaya bicara adalah tentang
bagaimana kemapuan seorang orator menggunakan cara atau gaya bicara tertentu.
Gaya bicara ini ibarat karakteristik si orator itu sendiri. Ada orator yang
bagus karena dinilai memiliki gaya orasi yang unik, menarik, dan bukan tentang
kata-kata apa yang disampaikannya.
Style ini juga terkait erat dengan cara
penyampaian kata-kata atau argumentasi kepada khalayak. Cara penyampaian yang
menarik adalah hal yang penting dalam sebuah orasi. Karena seringkali
kefektifan orasi dilihat dari sejauh mana khalayak menilai cara bicara atau
cara orasi orang tersebut menarik atau tidak. Mengenai apa yang disampaikannnya
itu menjadi hal yang berikutnya.
Para pengkritik terhadap teori retorika Aristoteles ini
mengatakan bahwa kesalahan terbesar di sini adalah audiens atau khalayak
dianggap pasif. Orator menurut Aristoteles dianggap akan selalu mampu
menyampaikan apa-apa yang dimaksudkannya kepada khalayak sejauh mereka
mengikuti anjuran-anjuran Aristoteles tersebut. Ada faktor yang penting yang
terlupa oleh Aristoteles, yaitu situasi. Padahal faktor ini adalah salah satu
aspek penting yang perlu diperhatikan dalam praktek retorika itu sendiri.
Di luar itu semua, teori retorika ini memang banyak dinilai
memadai jika dilihat sebagai landasan dalam studi dan praktek retorika.
Tentunya seiring masa perlu dilakukan beragai macam penyesuaian dan semacamnya.
Akan tetapi yang terpenting dari itu semua bahwa retorika atau komunikasi
secama umum pada dasarnya adalah seni, sehingga tidak akan mampu untuk
terbakukan dalam bentuk-bentuk aturan apapun. Seringnya, semuanya berpulang
kepada manusia itu sendiri.
Metode Retorika
1. Exordium (pendahuluan)
Fungsinya pengantar kearah pokok persoalan yang akan dibahas
dan sebagai upaya menyiapkan mental para hadirin (mental prepation) dan
membangkitkan perhatian (attention arousing).
Berbagai
cara dapat ditampilakan untuk memikat perhatian hadirin.
- Mengemukakan
kutipan (ayat kitab suci, pendapat ahli kenamaan, dll)
- Mengajukan
pertanyaan
-
Menyajikan ilustrasi yang spesifik
- Memberikan
fakta yang mengejutkan
-
Menyajikan hal yang bersifat manusia
- Mengetengahkan
pengalaman yang ganjil
Beberapa
hal yang perlu dihindari dalam retorika, antara lain:
- Permintaan
maaf karena kurang persiapan, tidak menguasai materi, tidak pengalaman dll.
-
Menyajikan sebuah lelucon yang berlebihan.
2. Protesis (latar belakang)
Mengemukakan hakekat pokok persoalan tersebut secara factual
atau secara kesejahteraan nilainya serta fungsinya dalam kehidupan. Jadi
pembahasan ini dikemukakan sedemikian rupa sehingga tampak jelas kaitannya
dengan kepentingan pendengar.
3. Argumentasi (isi)
Memberikan ulasan-ulasan tentang topic yang akan disajikan
secara teoritis, kemudian mengemukakan kekuatan posisinya.
5. Etika Retorika
- Memperhatikan kondisi keadaan tertentu, hal ini memerlukan keputusan yang bijaksana, humanistis dan etis social.
- Memperhatikan standar benar tidaknya ditentukan hukum
- Memperhatikan etika nilai adat istiadat atau tata nilai kesopanan yang berlaku dimasyarakat.
- Memperhatikan alasan logis atau fakta yang ada
- Memiliki kekuatan dalil atau nash.
BAB III
E. RETORIKA SENI BERBICARA
Berbicara merupakan alat komunikasi paling efektif dan
efesien. Persoalan berbicara tak dapat dilepaskan sejak sejarah manusia mulai
diperkenalkankan. Bahkan Allah SWT memiliki sifat kalam artinya Maha
Berfirman. Itulah sebabnya Nabi Musa ketika lidahnya kurang begitu fasih
berbicara, maka Allah membimbing dia dengan seubua doa : rabbis rahli shadri
wayassirli amri wahlul uqdatam millisani yafqahu qauli (QS. Thaha (20) :
Imam al-Akhdlariy menyebutkan bahwa yang membedakan
manusia dengan makhluk lainnya adalah bahwa manusia itu disebut hayawanun
nathiqun artinya “binatang yang pandai berbicara”[1] meskipun secara etika sepertinya
terlalu berana beliau menyebut manusia dengan binatang. Demikian pula
orang-orang yang mampu mengubah sejarah peradaban dunia, mereka itu pada
umumnya sangat piawai dalam mengolah kata dan bermain kalimat. Mulai dari para
filusuf Yunani seperti Socrates, Aristoteles, dan Plato. Sampai dengan para
politikus, dan negarawan seperti Hitler, Musolini, Thomas Aquinas, Montesqueu,
hingga negarawan kita yang cukup mahir dalam berorator seperti Bung Karno dan
Bung Tomo.
Kita juga tentu sering tertegun menyimak pembicaraan para
da’i kondang, seperti KH. Zaenuddin MZ, Aa Gym, Ust. Jepri Al-Bukhari, dan Ust.
Arifin Ilham. Mereka memiliki karakter gaya bicara yang berbeda dan pendengar
akan terlena dalam buaian kata-kata indah mereka. Kesimpulannnya adalah bahwa
berbicara yang baik dan bermakna akan mengandung kekekuatan spiritual
tersendiri.
Berbahasa Indonesia yang baik merupakan bagian identitas
bangsa. Seyogyanya berbicara yang baik dan benar sesuai dengan kaidah bahasa
Indonesia yang baku harus dapat disosialisasikan oleh para publik figur,
selebritis, di negeri ini. Pada era orde baru tampaknya justru yang merusak
kaidah bahasa Indonesia adalah orang nomor satu di Indonesia. Indikasi
“pengrusakkan” kaidah bahasa Indonesia era sekarang kiranya didominasi oleh
bahasa iklan di media masa. Dalam hal ini perlu diadakan aturan main dalam
memproduksi bahasa sebuah iklan, agar tidak merusak tatanan kaidah yang sudah
baku.
Penggunaan bahasa dan isitilah asing yang diadopsikan ke
dalam bahasa Indonesia seharusnya dibatasi. Kalau tidak bisa disederhanakan
oleh si pembicara sebaiknya tidak perlu diucapkan. Akan tetapi justru gejala
ini dibuat sengaja oleh orang-orang yang masih setengah-setengah mengenyam
pendidikan tinggi. Atau demi gengsi-gengsian mereka berbicara yang sok
ilmiah. Ironisnya, justru mereka sendiri tidak mengerti apa sebenarnya isi
pembicaraannya.
Sya’ir-sya’ir
lagu, bahasa iklan, bahasa dialog sinetron/film (dengan tanpa mengurangi
kebebasan berekspresi) sebaiknya selalu memperhatikan kaidah bahasa Indonesia
yang baik dan benar.
Para calon pejabat dan pemimpin negara sebaiknya ditatar
dulu bagaimana berbahasa Indonesia yang baik. Sehingga tidak terjadi
pemubadziran anggaran negara untuk mengadakan kongres bahasa Indonesia. Di satu
sisi keputusan kongres di keluarkan, di sisi lain pola berbicara para pejabat
masih tetap pada pola lama.
Sepanjang sejarah, kongres bahasa Indonesia itu sudah sering
dilaksanakan. Sehingga yang disebut dengan EYD entah akan berapa kali lagi akan
disempurnakan. Barangkali akan lebih monumental jika gramatikal bahasa
Indonesia itu secara resmi diundangkan. Dengan segala implikasinya, layaknya
sebuah undang-undang (lengkap dengan sanksi hukum, jika ada penyalahgunaan
istilah atau lainnya). Berbeda sekali dengan gramatikal bahasa Inggris, di mana
sejak abad IV sampai sekarang tetap sama. Demikian pula dengan gramatikal
bahasa Arab, sejak al-Qur’an diturunkan XV abad yang silam, hingga sekarang
masih tetap utuh.
Lalu,
ada apa dengan tata bahasa Indonesia ? Mengapa selalu berubah-ubah ?. Hal ini
didak lain disebabkan karena kuatnya pengaruh suhu politik. Contohnya, setiap
kali ganti mentri/ kabinet maka setiap kali ganti istilah. SMP jadi SLTP
kembali lagi ke SMP, SMA jadi SMU kembali lagi ke SMA. Gelar sarjana untuk satu
disiplin ilmu yang sama sampai sangat beragam. Akhirnya masyarakat awam yang
dibikin bingung.
BAB IV
F.
BERBICARA SEBAGAI PROSES KOMUNIKASI
pengertian.
Jika sedang bicara, tataplah matanya dan jangan malah membelakangi dia.Jika
anak Anda menangis, jangan didiamkan saja. Selama ini banyak bereda pandangan
keliru, bahwa jika bayi menangis sebaiknya didiamkan saja supaya nantinya tidak
m ... Berbicara dan BahasaPada
masa awal, seorang bayi akan mendengarkan dan mencoba mengikuti suara yang
didengarnya. Sebenarnya tidak hanya itu, sejak lahir ia sudah belajar mengamati
dan mengikuti gerak tubuh serta ekspresi wajah orang yang dilihat. Berikut ini
akan disajikan informasi seputar tahapan perkembangan bahasa dan bicara seorang
anak. Namun perlu diperhatikan, bahwa batasan-batasan yang tertera juga bukan
merupakan batasan yang kaku mengingat keunikan setiap anak berbeda satu dengan
yang lain. Menurut Dr. Miriam Stoppard (1995) tahapan perkembangan kemampuan
bicara dan berbahasa dapat dibagi sebagai berikut:0 - 8 MingguPerkembangan
Kemampuan Berbicara dan
BahasaPada masa awal, seorang bayi akan mendengarkan dan mencoba mengikuti
suara yang didengarnya. Sebenarnya tidak hanya itu, sejak lahir ia sudah
belajar mengamati dan mengikuti gerak tubuh serta ekspresi wajah orang yang
dilihatnya dari jarak tertentu. Meskipun masih bayi, seorang anak akan mampu
memahami dan merasakan adanya komunikasi dua arah dengan memberikan respon
lewat gerak tubuh dan suara. Sejak dua minggu pertama, ia sudah mulai terlibat
dengan percakapan, dan pada minggu ke-6 ia akan mengenali suara sang ibu, dan
pada usia 8 minggu, ia mulai mampu memberikan respon terhadap suara yang
dikenalinya.Tindakan yang Dapat Dilakukan OrangtuaSemakin dini orang tua
menstimulasi anaknya dengan cara mengajaknya bercakap-cakap dan menunjukkan
sikap yang mendorong munculnya respon dari si anak, maka sang anak akan semakin
dini pula tertarik untuk belajar bicara. Tidak hanya itu, kualitas percakapan
dan bicaranya juga akan lebih baik.
BAB V
JENIS-JENIS
PIDATO
Berdasarkan pada ada tidaknya persiapan, sesuai dengan cara yang dilakukan
waktu persiapan, kita dapat membagi jenis pidato kedalam empat macam, yaitu: impromtu,
manuskrip, memoriter, dan ekstempore.
Pidato impromtu
adalah pidato yang dilakukan secara tiba-tiba, spontan, tanpa persiapan
sebelumnya. Apabila Anda menghadiri sebuah acara pertemuan, tiba-tiba Anda
dipanggil untuk menampaikan pidato, maka pidato yang Anda lakukan disebut
impromtu.
Bagi juru pidato yang berpengalaman, impromtu memiliki beberapa keuntungan:
(1) Impromtu lebih dapat mengungkapkan perasaan pembicara yang sebenarnya,
karena pembicara tidak memikirkan lebih dulu pendapat yang disampaikannya, (2)
Gagasan dan pendapatnya dating secara spontan, sehingga tampak segar dan hidup,
dan (3) Impromtu memungkinkan Anda terus berpikir. Tetapi bagi juru pidato yang masih
“hijau”, belum berpengalaman, keuntungan-keuntungan di atas tidak akan tampak,
bahkan dapat mendatangkan kerugian sebagai berikut: (1) Impromtu dapat
menimbulkan kesimpulan yang mentah, karena dasar pengetahuan yang tidak
memadai, (2) Impromtu mengakibatkan penyampaian yang tersendat-sendat dan tidak
lancar, (3) gagasan yang disampaikan bisa “acak-acakan” dan ngawur, dan (4)
Karena tiadanya persiapan, kemungkinan “demam panggung” besar sekali. Jadi,
bagi yang belum berpengalaman, impromtu sebaiknya dihindari daripada Anda
tampak “bodoh” di hadapan orang lain.
Pidato Manuskrip adalah pidato dengan naskah. Juru pidato membacakan naskah pidato dari
awal sampai akhir. Di sini lebih tepat jika kita menyebutnya”membacakan pidato”
dan bukan “menyampaikan pidato”. Pidato manuskrip perlu dilakukan jika isi yang
disampaikan tidak boleh ada kesalahan. Misalnya, ketika Anda diminta untuk
melaporkan keadaan keuangan DKM, berapa pemasukan, dari mana saja sumbernya,
dan berapa pengeluaran serta untuk apa uang dikeluarkan, Anda perlu
menuliskannya dalam bentuk naskah dan baru kemudian membacakannya.
Pidato manuskrip tentu saja bukan jenis pidato yang baik walaupun memiliki
keuntungan-keuntungan sebagai berikut: (1) Kata-kata dapat dipilih
sebaik-baiknya sehingga dapat menyampaikan arti yang tepat dan pernyataan yang
gamblang, (2) Pernyataan dapat dihemat, karena manuskrip dapat disusun kembali,
(3) Kefasihan bicara dapat dicapai karena kata-kata sudah disiapkan, (4)
Hal-hal yang ngawur atau menyimpang dapat dihindari, dan (5) Manuskrip dapat
diterbitkan atau diperbanyak.
Namun demikian, ditinjau dari proses komunikasi, pidato manuskrip
kerugiannya cukup berat: (1) Komunikasi pendengar akan akan berkurang karena
pembicara tidak berbicara langsung kepada mereka, (2) Pembicara tidak dapat
melihat pendengar dengan baik karena ia lebih berkonsentrasi pada teks pidato,
sehingga akan kehilangan gerak dan bersifat kaku, (3) Umpan balik dari
pendengar tidak dapat mengubah, memperpendek atau memperpanjang pesan, dan (4)
Pembuatannya lebih lama.
Pidato Memoriter adalah pidato yang ditulis dalam bentuk naskah kemudian dihapalkan kata
demi kata, seperti seorang siswa madrasah menyampaikan nasihat pada acara
imtihan. Pada pidato jenis ini, yang penting Anda memiliki kemampuan
menghapalkan teks pidato dan mengingat kata-kata yang ada di dalamnya dengan
baik. Keuntungannya (jika hapal), pidato Anda akan lancar, tetapi kerugiannya
Anda akan berpidato secara datar dan monoton, sehingga tidak akan mampu menarik
perhatian hadirin.
Pidato Ekstempore adalah pidato yang paling baik dan paling sering digunakan oleh juru pidato
yang berpengalaman dan mahir. Dalam menyampaikan pidato jenis ini, juru pidato
hanya menyiapkan garis-garis besar (out-line) dan pokok-pokok bahasan
penunjang (supporting points) saja. Tetapi, pembicara tidak berusaha
mengingat atau menghapalkannya kata demi kata. Out-line hanya
merupakan pedoman untuk mengatur gagasan yang ada dalam pikiran kita.
Keuntungan pidato ekstempore ialah komunikasi pendengar dan pembicara lebih
baik karena pembicara berbicara langsung kepada pendengar atau khalayaknya,
pesan dapat fleksibel untuk diubah sesuai dengan kebutuhan dan penyajiannya
lebih spontan. Pidato jenis ini memerlukan latihan yang intensif bagi
pelakunya.
Jenis-jenis pidato juga dapat diidentifikasi berdasarkan tujuan pokok pidato yang disampaikan. Berdasarkan tujuannya, kita mengenal
jenis-jenis pidato: pidato informatif, pidato
persuasif, dan pidato rekreatif. Pidato
informatif adalah pidato yang tujuan utamanya untuk menyampaikan
informasi agar orang menjadi tahu tentang sesuatu. Pidato pesuasif
adalah pidato yang tujuan utamanya membujuk atau mempengaruhi orang lain agar
mau menerima ajakan kita secara sukarela bukan sukar rela. Pidato
rekreatif adalah pidato yang tujuan utamanya adalah menyenangkan atau
menghibur orang lain. Namun demikian, perlu disadari bahwa dalam kenyataannya ketiga jenis
pidato ini tidak dapat berdiri sendiri, melainkan saling melengkapi satu sama
lain. Perbedaan di antara ketiganya semata-mata hanya terletak pada titik berat
(emphasis) tujuan pokok pidato.
Berdasarkan
pada sifat dari isi pidato, pidato dapat dibedakan menjadi :
1.
Pidato Pembukaan, adalah pidato singkat yang dibawakan oleh pembaca
acara atau mc.
2.
Pidato pengarahan adalah pdato untuk mengarahkan pada suatu pertemuan.
3. Pidato Sambutan, yaitu
merupakan pidato yang disampaikan pada suatu acara kegiatan atau peristiwa
tertentu yang dapat dilakukan oleh beberapa orang dengan waktu yang terbatas
secara bergantian.
4. Pidato Peresmian, adalah pidato
yang dilakukan oleh orang yang berpengaruh untuk meresmikan sesuatu.
5. Pidato Laporan, yakni pidato
yang isinya adalah melaporkan suatu tugas atau kegiatan.
6. Pidato Pertanggungjawaban,
adalah pidato yang berisi suatu laporan pertanggungjawaban.
Jenis-Jenis / Macam-Macam / Sifat-Sifat Pidato
Berdasarkan pada sifat dari isi pidato, pidato dapat
dibedakan menjadi :
1. Pidato Pembukaan, adalah pidato singkat yang dibawakan oleh pembaca acara atau mc.
2. Pidato pengarahan adalah pdato untuk mengarahkan pada suatu pertemuan.
3. Pidato Sambutan, yaitu merupakan pidato yang disampaikan pada suatu acara kegiatan atau peristiwa tertentu yang dapat dilakukan oleh beberapa orang dengan waktu yang terbatas secara bergantian.
4. Pidato Peresmian, adalah pidato yang dilakukan oleh orang yang berpengaruh untuk meresmikan sesuatu.
5. Pidato Laporan, yakni pidato yang isinya adalah melaporkan suatu tugas atau kegiatan.
6. Pidato Pertanggungjawaban, adalah pidato yang berisi suatu laporan pertanggungjawaban.
1. Pidato Pembukaan, adalah pidato singkat yang dibawakan oleh pembaca acara atau mc.
2. Pidato pengarahan adalah pdato untuk mengarahkan pada suatu pertemuan.
3. Pidato Sambutan, yaitu merupakan pidato yang disampaikan pada suatu acara kegiatan atau peristiwa tertentu yang dapat dilakukan oleh beberapa orang dengan waktu yang terbatas secara bergantian.
4. Pidato Peresmian, adalah pidato yang dilakukan oleh orang yang berpengaruh untuk meresmikan sesuatu.
5. Pidato Laporan, yakni pidato yang isinya adalah melaporkan suatu tugas atau kegiatan.
6. Pidato Pertanggungjawaban, adalah pidato yang berisi suatu laporan pertanggungjawaban.
D. Metode Pidato
Teknik atau metode dalam membawakan
suatu pidatu di depan umum :
1. Metode menghapal, yaitu membuat suatu rencana pidato lalu menghapalkannya kata per kata.
2. Metode serta merta, yakni membawakan pidato tanpa persiapan dan hanya mengandalkan pengalaman dan wawasan. Biasanya dalam keadaan darurat tak terduga banyak menggunakan tehnik serta merta.
3. Metode naskah, yaitu berpidato dengan menggunakan naskah yang telah dibuat sebelumnya dan umumnya dipakai pada pidato-pidato resmi.
1. Metode menghapal, yaitu membuat suatu rencana pidato lalu menghapalkannya kata per kata.
2. Metode serta merta, yakni membawakan pidato tanpa persiapan dan hanya mengandalkan pengalaman dan wawasan. Biasanya dalam keadaan darurat tak terduga banyak menggunakan tehnik serta merta.
3. Metode naskah, yaitu berpidato dengan menggunakan naskah yang telah dibuat sebelumnya dan umumnya dipakai pada pidato-pidato resmi.
Berpidato Tanpa Teks
Pandangan mata harus dilakukan secara merata menjangkau semua pendengar baik yang di depan maupun yang di belakang, baik yang di sebelah kiri maupun yang di sebelah kanan, pandangan yang merata itu sebaiknya harus disertai dengan senyum ceria yang ikhlas. Gunanya adalah agar semua pendengar merasa diajak bicara.
Pandangan mata harus dilakukan secara merata menjangkau semua pendengar baik yang di depan maupun yang di belakang, baik yang di sebelah kiri maupun yang di sebelah kanan, pandangan yang merata itu sebaiknya harus disertai dengan senyum ceria yang ikhlas. Gunanya adalah agar semua pendengar merasa diajak bicara.
Agar kegiatan pidato yang dilakukan menarik hati dan perhatian pendengar, seorang pembicara harus mampu memilih metode pidato yang baik. Pada pelajaran semester 1, kamu telah berlatih berpidato dengan menggunakan naskah.
Berpidato tanpa teks dapat dilakukan melalui dua cara, yakni dengan menghafal naskah pidato (memoriter) terlebih dahulu atau hanya menuliskan topik-topik pokoknya yang dijabarkan dalam kerangka (ekstemporan). Berpidato dengan cara menghafal hanya bisa dilakukan kalau naskahnya pendek. Hal ini dapat dipahami karena kemampuan manusia untuk menghafalkan naskah sangat terbatas.
Berpidato dengan menghafalkan naskah
sebenarnya bertentangan dengan kebiasaan sehari-hari.oleh karena itu, bila
sudah sangat terpaksa, berpidato dengan cara menghafalkan naskah harus kita
hindari. Lebih baik naskah pidato kita baca berulang-ulang saja (tidak perlu
dihafalkan). Artinya, kalimat-kalimatnya tidak perlu sama dengan naskah tetapi
isinya sama. Pidato jenis ini yaitu dengan cara menuliskan pesan pidato
kemudian diingat kata demi kata. Seperti manuskrip, memriter memungkinkan
ungkapan yang tepat, rganisasi berencana, pemilihan bahasa yang teliti, gerak dan isyarat yang
diintegrasikan dengan uraian. Tetapi karena pesan sudah tepat, maka tidak
terjalin saling hubungan antara pesan dengan pendengar, kurang langsung,
memerlukan banyak waktu dalam persiapan, kurang spontan, perhatian beralih dari
kata-kata kepada usaha mengingat-ingat.
Bahaya besar timbul bila satu kata atau lebih hilang dari ingatan.Teknik menghafal (memoriter) mempunyai keunggulan dan kelemahan.
Keunggulannya antara lain:
1. lancar kalau benar-benar hafal;
2. tidak ada yang salah kalau benar-benar hafal; dan
3. mata pembicara dapat memandang pendengar.
Kelemahan teknik menghafal antara lain:
1. pembicara cenderung berbicara cepat tanpa penghayatan;
2. tidak dapat menyesuaikan dengan situasi dan reaksi pendengar; dan
3. kalau lupa, pidatonya gagal total.
Teknik lain yang dapat digunakan adalah dengan cara membuat catatan garis besar pidato dan menjabarkannya ke dalam kerangka (ekstemporan). Berpidato dengan cara ini sangat dianjurkan karena sifatnya sangat fleksibel. Pembicara dituntunoleh kerangka yang dibuatnya. Kerangka itu dikembangkan secara langsung dan dilihat saat diperlukan saja. Pembicara juga bebas menyesuaikan dengan reaksi dan situasi pendengar. Kalau kerangka pidato yang dibuat sudah dapat diingat pembicara dapat tampil tanpa membawa secarik kertas. Hal ini tentu lebih baik lagi, karena pembicara lebih konsentrasi meningkatkan kualitas pidatonya agar lebih menarik.
Pidato dengan teknik ekstemporan
mempunyai keunggulan dan kelemahan. Keunggulannya antara lain:
1. pokok-pokok isi pidato tak ada yang terlupakan;
2. penyampaian isi pidato runtut;
3. kemungkinan salah dan lupa kecil; dan
4. interaksi dengan pendengar sangat komunikaif.
Kelemahannya antara lain:
1. tangan cenderung kurang bebas bergerak karena memegang kertas jika tidak hafal;
2. terkesan kurang siap karena sering melihat catatan jika tidak hafal;
3. pemakaian bahasa kurang baik.
1. pokok-pokok isi pidato tak ada yang terlupakan;
2. penyampaian isi pidato runtut;
3. kemungkinan salah dan lupa kecil; dan
4. interaksi dengan pendengar sangat komunikaif.
Kelemahannya antara lain:
1. tangan cenderung kurang bebas bergerak karena memegang kertas jika tidak hafal;
2. terkesan kurang siap karena sering melihat catatan jika tidak hafal;
3. pemakaian bahasa kurang baik.
Setiap teknik berpidato mempunyai
kelebihan dan kekurangan. Untuk itu, setiap orang mungkin berbeda pilihannya
dengan yang lain karena sangat bergantung pada kesiapan dan kemahiran dalam
mempraktikkannya. Untuk meningkatkan keterampilan berpidato tanpa teks, pada
pelajaran ini kamu akan berlatih dengan menggunakan teknik ekstemporan yakni
hanya menuliskan garis besar pembicaraan.
Perhatikan langkah-langkah berikut.
1. Menentukan Tema. Tentukanlah tema pembicaraan yang akan kamu sampaikan dalam pidato. Tema yang dipilih merupakan masalah yang aktual dan faktual serta mampu menarik perhatian peserta pidato.
2. Mencatat Pokok-pokok Pidato. Catatlah pokok-pokok pembicaraan yang akan disampaikan dalam pidato secara runtut, utuh, dan jelas.
3. Menyampaikan Pidato. Sekarang pikirkanlah bagaimana kamu akan menyampaikan pidato! Pikirkan bagaimana kamu akan membuka pembicaraan saat pidato, menyampaikan pidato, dan menutup pembicaraan dalam pidato! Penyampaian pidato hendaknya sistematis serta menggunakan bahasa yang baik dan komunikaif.
1. Menentukan Tema. Tentukanlah tema pembicaraan yang akan kamu sampaikan dalam pidato. Tema yang dipilih merupakan masalah yang aktual dan faktual serta mampu menarik perhatian peserta pidato.
2. Mencatat Pokok-pokok Pidato. Catatlah pokok-pokok pembicaraan yang akan disampaikan dalam pidato secara runtut, utuh, dan jelas.
3. Menyampaikan Pidato. Sekarang pikirkanlah bagaimana kamu akan menyampaikan pidato! Pikirkan bagaimana kamu akan membuka pembicaraan saat pidato, menyampaikan pidato, dan menutup pembicaraan dalam pidato! Penyampaian pidato hendaknya sistematis serta menggunakan bahasa yang baik dan komunikaif.
Ada beberapa cara yang dapat dipilih
untuk membuka pidato, menyampaikan isi pidato, dan menutup pembicaraan dalam
pidato. Perhatikan uraian berikut ini!
1. Cara membuka pidato
Pembukaan pidato diucapkan setelah
pembicara menyampaikan salam dan sapaan kepada pendengar. Yang dilakukan pembicara adalah mengucapkan salam
dan menyapa pendengar dengan sapaan yang tulus, ramah, dan bersahabat. Sapaan
yang lazim digunakan antara lain: Bapak dan Ibu yang saya hormati,
Saudara-saudara yang saya banggakan atau sapaan-sapaan lainnya. Jumlah yang
disapa jangan terlalu banyak. Satu,dua, atau tiga sudah cukup. Kalau terlalu
banyak, bisa menimbulkan kebsanan. Apalagi kalau pembicara tampil berpidato
pada giliran terakhir, sedangkan pembicara-pembicara sebelumnya sudah
menyebutkan sapaan-sapaan yang sama.
Dalam setiap komunikasioperanan
pembuka sangat penting. Lancar tidaknya komunikasi banyak ditentukanoleh
pembuka. Demikian pula dalam berpidato. Pembuka pidato yang jelek dapat
menimbulkan kesan permusuhan yang menghambat kelancaran komunikasi. Sebaliknya,
pembuka yang menyenangkan inilah yang mendukung kelancaran berpidato sehingga
tujuan pidato mudah dicapai.
Terdapat beberapa kiat membuka
pidato, diantaranya dengan menyampaikan hal-hal berikut.
a. Mengucapkan rasa syukur
b . Menceritakan pengalaman
c . Menebar humor
d . Memperkenalkan diri
e . Menyampaikan gambaran umum
f. Menyebutkan fakta pendengar
g. Menyebutkan contoh nyata
h. Menyampaikan kutipan
i. Melibatkan peserta
j .Menunjukan benda peraga
a. Mengucapkan rasa syukur
b . Menceritakan pengalaman
c . Menebar humor
d . Memperkenalkan diri
e . Menyampaikan gambaran umum
f. Menyebutkan fakta pendengar
g. Menyebutkan contoh nyata
h. Menyampaikan kutipan
i. Melibatkan peserta
j .Menunjukan benda peraga
2. Cara menguraikan isi pidato
Pembicara dapat menyampaikan isi pidatonya dengan memerhatikan hal-hal berikut.
a Tujuan pidato, apakah tujuannya untuk memberitahukan, menghibur, atau mengajak.
b Suasana dan situasi pidato, resmi atau tidak resmi.
c Pendekatan yang digunakan, apakah menggunakan pendekatan intelektual, mral, atau emsinal.
Pembicara dapat menyampaikan isi pidatonya dengan memerhatikan hal-hal berikut.
a Tujuan pidato, apakah tujuannya untuk memberitahukan, menghibur, atau mengajak.
b Suasana dan situasi pidato, resmi atau tidak resmi.
c Pendekatan yang digunakan, apakah menggunakan pendekatan intelektual, mral, atau emsinal.
Jika menggunakan pendekatan
intelektual, pembicara harus mengutamakan penalaran. Berbagai alasan, bukti, dan contoh
sangat diperlukan dalam menguraikan isi pidato. Jika menggunakan pendekatan
mral, pembicara lebih mengutamakan masalah mral dan keagamaan. Jika menggunakan pendekatan emsinal,
pembicara harus lebih mengutamakan emsi dapat menyentuh masalah semangatnya,
kebutuhannya, lingkungannya, keramahannya, atau yang lainya, mereka mudah
terhanyut dan mudah meNoerima isi pidato. Berdasarkan uraian di atas, pembicara sangat bijaksana kalau
melihat, mengamati, dan menganalisis tujuan, situasi, dan pendekatan yang akan
digunakan sebelum berpidato.
3. Cara menutup pidato
Ada tiga kesalahan besar yang sering
dilakukan pembicara dalam menutup pidato. Pertama, pembicara tidak tahu persis di mana harus berhenti.
Kedua, ada pembicara yang sebenarnya
ingin mengakhiri pidatonya, tetapi sulit berhenti deperti kendaraan tanpa rem.
Ia berbicara apa saja, berputar-putar
tak menentu. Ketiga, kesalahan yang paling besar seakan tak beromanfaat, pembicara menutup
pidato dengan mengucapkan kalimat seperti berikut: ”Demikianlah yang bisa saya katakan
pada kesempatan ini. Karena apa yang akan saya katakan sudah saya katakan
semuanya, maka saya tidak akan memperpanjang lagi pidato saya. Karena itu saya akhiri sekian”.Penutupan pidato
seperti itu tidak bermakna apa-apa.
Cara-cara menutup pidato berikut ini dapat dipilih sesuai
dengan kebutuhan atau situai dan kondisi.
a Menyingkat atau menyimpulkan.
b Memuji pendengar.
c Menyampaikan kalimat-kalimat lucu.
d Meminta pendengar untuk bertindak.
e Menyampaikan ungkapan terkenal.
f Melantunkan pantun.
a Menyingkat atau menyimpulkan.
b Memuji pendengar.
c Menyampaikan kalimat-kalimat lucu.
d Meminta pendengar untuk bertindak.
e Menyampaikan ungkapan terkenal.
f Melantunkan pantun.
BAB VI
Teknik Vokal
Tidak jarang sikap gugup atau demam panggung dialami
seseorang dalam presentasi atau
ceramah
yang ia sampaikan. Mereka yang mengalami masalah itu datang dari siapa saja. Tidak saja pada orang-orang biasa. Namun
pada mereka yang terbiasa berbicara atau berpidato
pun bisa mengalami demam panggung. Penyakit itu dikenal dengan nama penyakit kepanikan komunikasi (KK).
Dalam teori mereka mungkin bisa berbicara lancer pada
waktu biasa. Atau tidak gugup bicara di depan teman-teman sendiri. Namun pada saat bicara di depan khalayak banyak
penyakit demam panggung ini baru muncul. Contoh KK
dalam membacakan ayat suci seorang calon menantu di depan mertuanya. Sang menantu tak bisa membaca ayat pendek
karena gugup. Itu karena ia tahu calon mertuanya
ingin mengetahui kesalehan calon mantunya. Stress itulah yang juga dialami oleh para musisi yang ingin show dan
atlet sebelum bertanding. Kecemasan berkomunikasi
itu ada beberapa macam. Dan dalam diagnosis ilmu kecemasan komunikasi
dikenal
dengan beberapa istilah. Yang pertama stage fright (demam panggung).
Kedua, speech anxiety (kecemasan
bicara). Ketiga, performance strees atau yang lebih umum strees kerja. Dan gejala-gejala ini yang
dirasakan orang-orang itu.
Berikut untuk mengetahui gejala-gejala itu sebagaimana
disebutkan dibawah ini;
1. Detak jantung
yang cepat
2. telapak
tangan atau punggung berkeringat
3. napas
terengah-engah
4. mulut kering
dan sukar menelan
5. ketegangan
otot dada, tangan dan kaki
6. tangan atau
kaki bergetar
7. suara
bergetar dan parau
8. berbicara
cepat dan tidak jelas
9. tidak sanggup
mendengar atau konsentrasi
10. lupa atau
ingatan hilang.
Gejala- gejala yang bisa merusak presentasi dan
ceramah kita itu harus bisa dihilangkan.
Dalam
banyak kasus kegagalan seorang pembicara yang tidak mendapat respon audiens dikarenakan penyakit itu. Dan dalam
menghilangkannya pun tidak semudah membalik kan telapak
tangan. Ada yang mengatakan belajar presentasi dengan baik sama dengan orang belajar menyetir mobil. Saat dilepas
oleh gurunya mobil bisa dijalankan sesuai petunjuk setelah ia belajar.
Namun dalam kasus orang bawa mobil pasti ditemui rem tiba-tiba secara mendadak. Dan sudah pasti bagi
yang baru bisa bawa mobil pasti akan lebih parah daripada
mereka yang sudah lancar
100%.
Dalam konteks menghilangkan penyakit itu dibutuhkan
cara dan tekhnik yang tepat
dengan
memperkaya wawasan dan keilmuan serta latihan ilmu retorika secara intensif. Rudolp E Busby dan Randall E. Majors
dalam Basic Speech Communications memberikan beberapa resep untuk mengatasi
ketegangan pada saat kita mengalami demam panggung yang sama sebelum berbicara di depan
umum. Mengatasi detak jantung yang cepat dengan
tekhnik relaksasi dalam mengendurkan otot-otot Anda. Tangan dan kaki yang bergetar harus disiasati dengan menggoyang-goyangnya secara
perlahan-lahan. Beberapa tips
ini juga bisa ditambah dengan memancing respon audiens terlebih dahulu dengan sapaan atau dengan bahasa pembuka yang
ringan. Jangan lupa tanamkan keberanian dan senyumlah
pada audiens dan tarik napas panjang-panjang sebelum berbicara. Dan harus segera secara cepat memancing para
hadirin sebelum berbicara.
Bahasa
Tubuh dan Intonasi
(Anthony
Robbins , 1999) Pada
tahun 70-an masyarakat Indonesia yang menonton TVRI sering melihat film Charlie Chaplin. Yakni film lawak
hitam putih yang belum bersuara, hanya menggunakan
ekspresi dan gerak tubuh seperti pantomim. Menariknya, sekalipun tidak ada kalimat apapun yang dikatakan,
namun kita bisa terpingkal-pingkal karenanya.
Di tahun 90-an, hal serupa dilakukan oleh Mr. Bean, sekalipun sudah menggunakan musik dan sedikit suara.
Dari mana kita bisa terpingkal-pingkal, padahal
tidak ada kata apapun yang dikatakan
oleh Charlie Chaplin maupun Mr Bean? Bagaimana kita bisa mengerti atau menangkap pesan yang mereka maksudkan?
Apakah ini berarti bahwa kita bias berkomunikasi
tanpa kata-kata? Memang demikianlah, ternyata pesan dan makna bisa disampaikan tanpa menggunakan
kata-kata. Inilah yang disebut body language,
alias bahasa tubuh yaitu gerakan tubuh, ekspresi dan lain-lain yang membuat kita mengerti makna yang
dimaksudkan orang lain.
Pada modul ke 8, kita sudah dikenalkan pada konsep 3
V, yakni Verbal, Vocal,
Visual. Yakni kita bisa melipatgandakan kekuatan pesan apabila menggunakan komponen 3 V secara
sekaligus. Verbal (kata-kata), Vocal (intonasi), dan
Visual (bahasa tubuh).
Bagaimana peran Vocal dalam penyampaian pesan? Coba
kita ingat saat kita
masih
kecil dan bermain hujan-hujanan di halaman rumah yang becek dan berlumpur. Lantas orang tua kita marah,
dan memanggil “Jaka…”. Pada saat itu tanpa
kita sadari kita “menilai” seberapa marah orang tua kita berdasarkan intonasi yang dipakainya. Jika dalam perhitungan
kita intonasinya masih wajar, maka kita lanjutkan
main hujan.
Namun beberapa menit kemudian orang tua kita
memanggil “JAKKKKA!!!!”, sekalipun
tidak ada perubahan/penambahan kata lain, namun dari intonasi yang dipergunakan kali ini kita tahu bahwa
orang tua kita sudah marah dan sudah tidak bisa
ditawar lagi.
Di sinilah terlihat bahwa intonasi
menyumbang/berperan dalam pembentukan
suatu makna. Bahkan intonasi bisa mengubah
makna secara drastis. Bayangkan,
semisal seorang laki-laki mengucapkan kalimat ini pada seorang perempuan “Dara, aku mencintaimu….”
Semua dari kita langsung mengerti maknanya
bahwa laki-laki itu mencintai Dara.
Namun jika intonasinya diubah: “Dara, aku
mencintaimu…?”. Secara drastic maknanya
langsung berubah bahwa ia justru tidak mencintai di Dara. Padahal, tidak ada perubahan apapun pada kata-kata yang
digunakan, hanya berubah intonasinya. Beberapa
contoh di atas cukup menjelaskan
bahwa baik bahasa tubuh maupun
intonasi ikut membentuk makna dalam komunikasi. Dengan demikian, bagi seorang komunikator sangatlah penting
untuk mema nfaatkan kedua cara tersebut dalam
meningkatkan efek kekuatan makna.
Pada modul ini
akan dibahas hal di atas dalam dua perspektif, yakni:
1. Bagaimana
kita memperbaiki bahasa tubuh selaku komunikator agar lebih persuasif dalam membawakan advokasi.
2. Bagaimana
kita menggunakan pengetahuan mengenai bahasa tubuh ini untuk bisa “membaca” pikiran mitra
bicara melalui bahasa tubuhnya.
Dalam memanfaatkan kekuatan 3 V ini, maka baik
kata-kata, bahasa tubuh dan
intonasi, harus dipergunakan secara selaras. Banyak komunikator yang tidak mempedulikan bagaimana bahasa tubuh atau
intonasi mereka saat berkata-kata. Misalnya,
apabila seseorang dalam berkomunikasi
tangannya bergerak-gerak tidak beraturan
sama sekali, maka bawah sadar orang yang diajak bicara akan cenderung mengabaikan gerakan tangannya. Artinya
si komunikator tengah menyia-nyiakan manfaat
dari alat komunikasi yang powerful ini.
Contoh lain, seorang komunikator yang berbicara
monoton dan datar, maka bawah
sadar audien akan “menangkap” pesan bahwa
komunikator sendiri juga punya
perasaan datar, bosan dan
tidak tertarik pada topik yang dia bicarakan. Karena
semenjak kecil kita sudah tahu bahwa jika sesuatu itu menarik bagi komunikator, akan disampaikan dengan
intonasi yang khas. Maka,
menjadi tantangan bagi fasilitator untuk menguasai terlebih dahulu dan mempraktakkan bahasa tubuh dan
intonasi ini agar dapat tampil dengan konsekwen.
Menggunakan Bahasa Tubuh dan Intonasi Dalam Advokasi Pada saat kita melakukan berbagai
aktivitas dalam kegiatan advokasi, hampir
selalu berhadapan dengan manusia. Mulai dari menjalin kontak baru dengan seseorang, meeting, hearing, negosiasi,
lobby, presentasi, pidato, dialog, sampai dengan
turun langsung ke masyarakat. Semuanya perlu keterampilan
berkomunikasi.
Pengetahuan bahasa tubuh misalnya berguna saat kita
berkenalan dengan kontak
baru. Kita akan bisa mengakselerasi proses perkenalan menjadi lebih cepat akrab, sekaligus mengetahui seberapa jauh pihak lain
merasa nyaman berkomunikasi
dengan kita. Pada saat
meeting, negosiasi dan lain-lain, kita bisa memperkirakan kondisi pikiran pihak lain dengan cara
memperhatikan bahasa non verbalnya. Menggunakan gestur
untuk menunjukkan suatu poin pembicaraan sedemikian penting, atau menggunakan intonasi tertentu agar pihak
lain merasa bahwa persoalan sebenarnya hanyalah
ringan.
BAB VII
TAHAP
PERSIAPAN PIDATO
Sebelum berpidato, berdakwah, atau berceramah, kita harus mengetahui lebih
dulu apa yang akan kita sampaikan dan tingkah laku apa yang diharapkan dari
khalayak kita; bagaimana kita akan mengembangkan topik bahasan. Dengan
demikian, dalam tahap persiapan pidato, ada dua hal yang harus kita lakukan,
yaitu: (1) Memilih Topik dan Tujuan Pidato dan (2) Mengembangkan Topik Bahasan.
1.
Memilih Topik dan Tujuan Pidato
Seringkali kita menjadi bingung ketika harus mencari topik yang baik,
seakan-akan dunia ini kekeringan bahan pembicaraan, seakan-akan kita tidak
memiliki keahlian apa-apa. Jangan bingung, karena sebenarnya setiap orang
memiliki keahlian masing-masing, hanya kita seringkali tidak menyadarinya. Mang
Endang mungkin tidak dapat berbicara tentang hukum waris dengan baik, tetapi
Mang Endang dapat dengan lancar berbicara tentang cara memperbaiki mobil yang
rusak. Pak Haji Holis mungkin akan sangat lancar berbicara tentang hukum waris,
tetapi hampir pasti beliau akan gagap jika diminta menjelaskan bagaimana
caranya memperbaiki mobil yang mogok. Inilah yang disebut keahlian spesifik.
Setiap orang punya potensi untuk ahli di bidangnya masing-masing. Hal yang akan
menjadi masalah bagi seseorang ketika harus berpidato adalah jika orang itu
memaksakan diri berbicara tentang persoalan yang tidak dikuasainya, hal yang
tidak dipahaminya (Numawi kitu, ulah maksakeun anjeun nyarios anu urang
nyalira henteu ngartos kana naon anu dicarioskeun!).
Untuk membantu Anda menemukan topik bahasan dalam pidato, Profesor Wayne N.
Thompson menyusun sitematika sumber topik sebagai berikut:
o
Pengalaman
Pribadi:
o
Perjalanan
o
Tempat
yang pernah dikunjungi
o
Wawancara
dengan tokoh
o
Kejadian
luar biasa
o
Peristiwa
lucu
o
Kelakukan
atau adat yang aneh
o
Hobby
dan Keterampilan: Cara melakukan sesuatu, Cara
bekerja sesuatu
o
Peraturan
dan tata cara
o
Pengalaman
Pekerjaan dan Profesi
o
Pekerjaan
tambahan
o
Profesi
Keluarga
o
Masalah
Abadi
o
Agama
o
Pendidikan
o
Masalah
kemasyarakatan
o
Persoalan
pribadi
o
Kejadian
Khusus: Perayaan atau peringatan khusus (Misalnya, Maulud Nabi)
o
Peristiwa
yang erat kaitannya dengan peringatan
o
Minat
Khalayak: Pekerjaan, Rumah tangga,
Kesehatan dan penampilan
o
Tambahan
ilmu
Kriteria
Topik yang Baik
Untuk menentukan topik yang baik, kita dapat menggunakan ukuran-ukuran
sebagai berikut:
Topik
harus sesuai dengan latar belakang pengetahuan Anda
Topik yang paling baik adalah topik yang memberikan kemungkinan Anda lebih
tahu daripada khalayak, Anda lebih ahli dibandingkan dengan kebanyakan
pendengar. Jika Anda merupakan orang yang paling tahu tentang tata cara sholat
yang baik dibandingkan dengan orang lain, maka berpidatolah dengan tema atau
topik itu; sebaliknya jika Anda tidak begitu paham tentang tata cara sholat
yang baik, jangan pernah Anda memaksakan diri untuk berbicara tentang masalah itu.
Topik
harus menarik minat Anda
Topik yang enak dibicarakan tentu saja adalah topik yang paling Anda
senangi atau topik yang paling menyentuh emosi Anda. Anda akan dapat berbicara
lancar tentang kaitan berpuasa dengan ketentraman hati, sebab Anda pernah
merasa tidak tenang ketika pernah tidak berpuasa secara sengaja di bulan
ramadhan.
Topik
harus menarik minat pendengar
Dalam berdakwah atau berpidato, kita berbicara untuk orang lain, bukan
untuk diri kita sendiri. Jika tidak ingin ditinggalkan pendengar atau diacuhkan
oleh hadirin, Anda harus berbicara tentang sesuatu yang diminati mereka.
Walaupun hal-hal yang menarik perhatian itu sangat tergantung pada situasi dan
latar belakang khalayak/hadirin, namun hal-hal yang bersifat baru dan indah,
hal-hal yang menyentuh rasa kemanusiaan, petualangan, konflik, ketegangan,
ketidakpastian, hal yang berkaitan dengan keluarga, humor, rahasia, atau
hal-hal yang memiliki manfaat nyata bagi hadirin adalah topik-topik yang akan
menarik perhatian.
Topik
harus sesuai dengan pengetahuan pendengar
Betapapun baiknya topik, jika tidak dapat dicerna oleh khalayak, topik itu
bukan saja tidak menarik tetapi bahkan akan membingungkan mereka. Oleh karena
itu, sebelum Anda menentukan topik dakwah, ketahuilah terlebih dahulu bagaimana
rata-rata tingkat pengetahuan pendengar yang menjadi khalayak sasaran pidato
Anda. Gunakanlah bahasa, gaya bahasa, dan istilah-istilah yang dimengerti oleh
hadirin, bukan istilah-istilah yang hanya dipahami oleh Anda (meskipun istilah
itu keren sekali).
Topik
harus jelas ruang lingkup dan pembatasannya
Topik yang baik tidak boleh terlalu luas, sehingga setiap bagian hanya
memperoleh ulasan sekilas saja, atau “ngawur”. Misalnya, Anda memilih topik
Agama, tetapi kita tahu agama itu luas sekali. Agama bisa menyangkut moralitas,
sistem kepercayaan, cara beribadat, dan lain-lain. Agar topik kita jelas,
ambilah misalnya tentang cara beribadat, lebih jelas lagi ambilah topik tentang
sholat yang khusu’, dan seterusnya.
Topik
harus sesuai dengan waktu dan situasi
Maksudnya, kita harus memilih topik pidato atau topik dakwah yang sesuai
dengan waktu yang tersedia dan situasi yang terjadi. Jika Anda diberikan waktu
untuk berbicara selama 10 menit, janganlah Anda memilih topik yang terlalu luas
yang tidak mungkin dijelaskan dalam waktu 10 menit. Jika Anda harus berbicara
di hadapan para santri yang rata-rata usianya belum akil baligh,
janganlah Anda memilih topik dakwah tentang tata cara hubungan suami-istri,
bicaralah tentang kebersihan sekolah, misalnya.
Topik
harus dapat ditunjang dengan bahan yang lain
Jika Anda memilih topik tentang Hadits Shahih dan Dhoif,
lengkapi bahan pembicaraan Anda dengan sumber-sumber rujukan (bisa berupa:
kitab, buku, atau perkataan ulama) yang sesuai.
Merumuskan
Judul Pidato
Hal yang erat kaitannya dengan topik adalah judul. Bila topik adalah pokok
bahasan yang akan diulas, maka judul adalah nama yang diberikan untuk pokok
bahasan itu. Seringkali judul telah dikemukakan lebih dahulu kepada khalayak,
karena itu judul perlu dirumuskan terlebih dahulu. Judul yang baik harus
memenuhi tiga syarat, yaitu: relevan, propokatif,
dan singkat. Relevan artinya ada hubungannya dengan
pokok-pokok bahasan; Propokatif artinya dapat menimbulkan hasrat ingin
tahu dan antusiasme pendengar; Singkat berarti mudah ditangkap
maksudnya, pendek kalimatnya, dan mudah diingat.
Menentukan
Tujuan Pidato
Ada dua macam tujuan pidato, yakni: tujuan umum dan tujuan khusus. Tujuan
umum pidato biasanya dirumuskan dalam tiga hal: memberitahukan
(informatif), mempengaruhi (persuasif), dan menghibur (rekreatif).
Tujuan khusus ialah tujuan yang dapat dijabarkan dari tujuan umum. Tujuan
khusus bersifat kongkret dan sebaiknya dapat diukur tingkat pencapaiannya atau
dapat dibuktikan segera.
Hubungan antara
topik judul, tujuan umum, dan tujuan khusus dapat dilihat pada contoh-contoh di
bawah ini:
Topik : Faedah
memiliki sifat pemaaf
Judul : Pemaaf
Sumber Kebahagiaan
Tujuan Umum :
Informatif (memberi tahu)
Tujuan Khusus:
Pendengar mengetahui bahwa:
Sifat
dendam menimbulkan gangguan jasmani dan rohani
Sifat
pemaaf menimbulkan ketentraman jiwa dan kesehatan
2. Teknik Mengembangkan Pokok Bahasan
Bila topik yang baik sudah ditemukan, kita memerlukan keterangan untuk
menunjang topik tersebut. Keterangan penunjang (supporting points) dipergunakan
untuk memperjelas uraian, memperkuat kesan, menambah daya tarik, dan
mempermudah pengertian.
Ada enam macam
teknik pengembangan bahasan dalam berpidato:
Penjelasan. Penjelasan adalah memberikan keterangan
terhadap istilah atau kata-kata yang disampaikan. Memberikan penjelasan dapat
dilakukan dengan cara memberikan pengertian atau definisi. Misalnya, istilah Iman
kepada Allah Anda jelaskan dengan kalimat: “Iman adalah rasa
percaya dan yakin akan kebenaran adanya Allah di dalam hati dan dibuktikan
dengan perbuatan melaksanakan segala perintah-Nya dan menjauhi segala
larangan-Nya.”
Contoh. Contoh adalah upaya untuk
mengkongkretkan gagasan, sehingga lebih mudah untuk dipahami. Contoh dalam
pidato dapat berupa cerita yang rinci yang disebut ilustrasi.
Untuk memberikan contoh tetantang kesabaran, misalnya Anda menggunakan cerita
tentang kesabaran Nabi Ayub dalam menghadapi cobaan Allah melalui penyakit
kulit yang dideritanya.
Analogi. Analogi adalah perbandingan antara dua
hal atau lebih untuk menunjukkan persamaan atau perbedaannya. Ada dua macam
analogi: analogi harfiyah dan analogi kiasan. Analogi harfiyah (literal
analogy) adalah perbandingan di antara objek-objek dari kelompok yang
sama, karena adanya persamaan dalam beberapa aspek tertentu. Misalnya,
membandingkan manusia dengan monyet secara biologis. Analogi kiasan adalah
perbandingan di antara objek-objek di antara kelompok yang tidak sama.
Testimoni. Testimoni ialah pernyataan ahli yang
kita kutip untuk menunjang pembicaraan kita. Pendapat ahli itu dapat kita ambil
dari pidato seorang ahli, tulisan di surat kabar, acara televisi, dan
lain-lain, termasuk kutipan dari kitab suci, hadits, dan sejenisnya.
Statistik. Statistik adalah angka-angka yang
dipergunakan untuk menunjukkan perbandingan kasus dalam jenis tertentu. Statistik
diambil untuk menimbulkan kesan yang kuat, memperjelas, dan meyakinkan.
Misalnya, untuk melukiskan betapa bokbroknya akhlak generasi muda di Indonesia,
Anda menggunakan kalimat, “Wahai saudara-saudara, menurut hasil penelitian,
saat ini lebih dari 65 persen remaja di Indonesia telah melakukan hubungan seks
sebelum nikah…”
Perulangan. Perulangan adalah menyebutkan kembali
gagasan yang sama dengan kata-kata yang berbeda. Perulangan berfungsi untuk
menegaskan dan mengingatkan kembali.
Teknik Menyusun
Pesan Pidato
H.A. Overstreet, seorang ahli ilmu jiwa untuk mempengaruhi manusia,
berkata, “let your speech march”. Suruh pidato Anda berbaris tertib
seperti barisan tentara dalam suatu pawai. Pidato yang tersusun tertib (well-organized)
akan menciptakan suasana yang favorable, membangkitkan minat,
memperlihatkan pembagian pesan yang jelas, sehingga memudahkan pengertian,
mempertegas gagasan pokok, dan menunjukkan perkembangan pokok-pokok pikiran
secara logis. Pengorganisasian pesan dapat dilihat menurut isi pesan itu
sendiri atau dengan mengikuti proses berpikir manusia. Yang pertama kita sebut
organisasi pesan (messages organization) dan yang kedua disebut
pengaturan pesan (message arrangement).
Organisasi
Pesan
Organisasi pesan dapat mengikuti enam macam urutan (sequence),
yaitu: deduktif, induktif, kronologis, logis,
spasial, dan topikal. Urutan deduktif
dimulai dengan menyatakan dulu gagasan utama, kemudian memperjelasnya dengan
keterangan penunjang, penyimpulan, dan bukti. Sebaliknya, dalam urutan
induktif kita mengemukakan perincian-perincian dan kemudian menarik
kesimpulan. Jika Anda menyatakan dulu mengapa perlu menghentikan kebiasaan
merokok, lalau menguraikan alasan-alasannya, Anda menggunakan urutan deduktif.
Tetapi bila Anda menceritakan sekian banyak contoh dan pernyataan dokter
tentang akibat buruk merokok dan kemudian Anda menyimpulkan bahwa rokok
berbahaya bagi kesehatan, maka Anda menggunakan urutan induktif.
Dalam urutan
kronologis, pesan disusun berdasarkan urutan waktu terjadinya peristiwa.
Dalam urutan
logis, pesan disusun berdasarkan sebab ke akibat atau dari akibat ke
sebab. Bila Anda menjelaskan proses kekufuran dari sebab-sebabnya lalu ke
gejala-gekalnya, maka Anda mengikuti urutan logis dari sebab ke akibat. Dalam urutan
spasial, pesan disusun berdasarkan tempat. Cara ini dipergunakan jika
pesan berhubungan dengan subjek geografis atau keadaan fisik lokasi..
Dalam urutan topikal, pesan disusun berdasarkan topik pembicaraan:
klasifikasinya, dari yang penting ke yang kurang penting, dari yang mudah ke
yang sukar, dari yang dikenal ke yang asing.
Pengaturan
Pesan
Bila pesan sudah terorganisasi dengan baik, kita masih perlu menyesuaikan
organisasi pesan ini dengan cara berpikir khalayak pendengar. Urutan pesan yang
sejalan dengan proses berpikir manusia disebut oleh Alan H. Monroe sebagai motivated
sequence (urutan bermotif). Menurut Monroe, ada lima tahap urutan
bermotif: perhatian (attention),
kebutuhan (needs), pemuasan (satisfaction),
visualisasi (visualization), dan tindakan (action).
Dengan demikian, pidato yang baik dan efektif adalah pidato yang sejak awal
mampu membangkitkan perhatian khalayak pendengar, mampu membuat pendengar
merasakan adanya kebutuhan tertentu, memberikan petunjuk bagaimana cara
memuaskan kebutuhan tersebut, dapat menggambarkan dalam pikirannya penerapan
usul yang dianjurkan kepadanya, dan akhirnya mampu menggerakkan khalayak untuk
bertindak sesuai anjuran kita. Misalnya, kita akan mengajak seseorang untuk
memotong rambutnya yang gondrong. Anda memuali pembicaraan dengan melontarkan
perkataan: “Lihat rambutmu!!! Kutu-kutu bergelantungan dengan bebasnya…”
Anda sedang memasuki tahap perhatian. Lalu Anda berkata lagi, “Kutu-kutu
itu tentu membuat kepalamu gatal dan kamu pasti tidak bisa tidur nyenyak…”
Anda tengah berada pada tahap membangkitkan kebutuhan. “Memotong rambut itu
mudah dan murah, cukup dengan uang Rp 3.000 atau bahkan gratis…” Anda
masuk pada tahap pemuasan. “Jika kamu tetap membiarkan rambutmu jabrig
begitu dan membebaskan kutu-kutu menyedot darahmu, kamu tampak seperti orang
kurang waras dan mustahil gadis-gadis di desa ini akan tertarik kepadamu…, tapi
jika kamu cepat memotong dan merapihkan rambutmu, kutu-kutu itu akan segera
mengucapkan selamat tinggal pada kepalamu dan gadis-gadis cantik akan
mengucapkan selamat datang arjunaku…” Anda sudah masuk pada tahap
visualisai. “Ayo, cukurlah rambutmu sekarang…!!!” Anda melakukan tahap
tindakan.
Membuat
Garis-garis Besar Pidato
Garis-garia besar (out-line) pidato merupakan pelengkap yang amat berharga
bagi pembicara yang berpengalaman dan merupakan keharusan bagi pembicara yang
belum berpengalaman. Garis besar pidato ibarat peta bumi bagi komunikator yang
akan memasuki daerah kegiatan retorika. Peta ini memberikan petunjuk dan arah
yang akan dituju. Garis besar yang salah akan mengacaukan “perjalanan”
pembicaraan, dan garis besar yang teratur akan menertibkan “jalannya” pidato.
Garis-garis besar pidato yang baik terdiri dari tiga bagian: pengantar,
isi, dan penutup. Dengan menggunakan urutan
bermotif dari Alan H. Monroe, kita dapat membaginya menjadi lima bagian:
perhatian, kebutuhan, pemuasan, visualisasi, dan tindakan. Perhatian
ditempatkan pada pengantar; kebutuhan, pemuasan, dan visualisasi kita tempatkan
pada isi; dan tindakan kita tempatkan pada penutup pidato
BAB VIII
A.
Prinsip-prinsip
berpidato dan garis besar pidato.
1.
Kesatuan (unity)
Seluruh gubahan pidato harus merupakan kesatuan yang tidak dapat
dipisahkan. Komposisi pidato yang baik harus merupakan kesatuan yang utuh. Ini
meliputi kesatuan dalam isi, tujuan dan sifat (mood). Dalam isi, harus ada
gagasan tunggal yang mendominasi seluruh uraian, yang menentukan dlam pemilihan
bahan-bahan penunjang. Komposisi juga harus mempunyai satu tujuan. Satu
diantaranya –menghibur, memberitahukan atau mempengaruhi- harus dipilih.
Kesatuan juga harus tampak dalam sifat pembicaraan (mood). Sifat ini mungkin
serius, informal, atau formal. Ini menentukan pemilihan bahan atau pemilihan
kata-kata.
2.
Pertautan (coherence)
Pertautan menunjukkan urutan bagian uraian yang berkaitan satu sama
lain. Pertautan menyebabkan perpindahan dari pokok yang satu kepada pokok yang
lain berjalan lancar. Untuk memliohara pertautan dapat digunakan tiga cara:
ungkapan penyambung (connective phrase), paralelisme dan gema (echo). Ungkapan
penyambung adalah sebuah kata atau lebih yang digunakan untuk merangkaikan
bagian-bagian, contoh karena itu, walaupun, demikian, sebagia ilustrasi, dst.
Gema berarti kata atau gagasan dalam kalimat terdahulu diulang kembali pada
kalimat baru. Pada contoh dibawah ini, yang dicetak miring adalah “gema”.
Contoh ketiga hal tersebut diatas menentukan berhasil tidaknya pendidikan. Yang
disebut terakhir, yaitu masyarakat, amat banyak pengaruhnya tetapi amat sedikit
m,endapat perhatian.
Gema
bisa berupa sinonim, perulangan kata, kata ganti atau istilah lain yang
menggantikkan kata-kata sebelumnya.
3.
Titik berat (emphasis)
Titik
berat menunjukkan pada bagian-bagian penting yang patut diperhatikan. Titik
berat dalam uraian lisan (pidato) dapat dinyatakan dengan hentian sejenak,
tekanan suara yang dinaikkan, perubahan nada, isyarat dan sebagainya. Dapat
pula didahului dengan keterangan penjelas seperti “Akhirnya sampailah pada inti
pembicaraan saya”, “Saudara-saudara yang terpenting bagi kita ialah…”, dan
sebagainya.
4. Meyusun
Pesan Pidato Organisasi pesan (message organization) terdapat 6 macam urutan :
Deduktif, induktif, kronologis logis, spesial, dan
topikal Pengaturan pesan, menurut hollingworth dalam “psycology of audience”
ada 5 tugas pokok yg harus diperhitungkan komunikator dalam mempengaruhi
khalayak : perhatian, minat, kesan, keyakinan, dan pengarahan
5. Organisasi
Pesan Deduktif :
Menyatakan dahulu gagasan utama, diikuti urutan
penunjang Induktif : mengemukakan perincian, kemudian menarik kesimpulan
Kronologis : pesan disusun berdasarkan urutan waktu terjadinya peristiwa Logis
: pesan disusun berdasarkan sebab-akibat atau sebaliknya Spesial : pesan
disusun berdasarkan tempat Topikal : pesan disusun berdasarkan topik
pembicaraan
Skema
susunan suatu pidato yang baik :
1.
Pembukaan dengan salam pembuka
2.
Pendahuluan yang sedikit menggambarkan isi
3.
Isi atau materi pidato secara sistematis : maksud, tujuan, sasaran, rencana,
langkah, dll.
4. Penutup (kesimpulan, harapan, pesan, salam penutup,
dll)
B.
Berbagai
kegiatan pidato dalam kehidupan masyarakat.
Jenis-Jenis
/ Macam-Macam / Sifat-Sifat Pidato
Berdasarkan
pada sifat dari isi pidato, pidato dapat dibedakan menjadi :
1.
Pidato Pembukaan, adalah pidato singkat yang dibawakan oleh pembaca acara atau
mc.
2.
Pidato pengarahan adalah pdato untuk mengarahkan pada suatu pertemuan.
3.
Pidato Sambutan, yaitu merupakan pidato yang disampaikan pada suatu acara
kegiatan atau peristiwa tertentu yang dapat dilakukan oleh beberapa orang
dengan waktu yang terbatas secara bergantian.
4.
Pidato Peresmian, adalah pidato yang dilakukan oleh orang yang berpengaruh
untuk meresmikan sesuatu.
5.
Pidato Laporan, yakni pidato yang isinya adalah melaporkan suatu tugas atau
kegiatan.
6.
Pidato Pertanggungjawaban, adalah pidato yang berisi suatu laporan
pertanggungjawaban.
BAB IX
A. Manfaat
Mahir berbicara
Definisi
Berbicara. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia: berbicara adalah kegiatan
melahirkan pendapat dengan perkataan; berkata; bercakap; atau berbahasa
menggunakan vokal.
Berdasarkan
definisi di atas, kita dapat mengatakan bahwa berbicara merupakan suatu broses
perubahan bentuk pikiran atau perasaan inenjadi wujud bunyi bahasa yang
bermakna.
Berbicara merupakan bentuk komunikasi manusia yang disuarakan . Hal ini didasarkan pada kombinasi sintaksis leksikal dan nama yang diambil dari kosakata yang sangat besar (biasanya > 10.000 kata yang berbeda ) . Setiap kata yang diucapkan diciptakan dari kombinasi fonetik seperangkat terbatas vokal dan konsonan berbicara pada setiap unit suara. Kosakata merupakan bentuk sintaksis dari berbiacar , dan berbentuk unit bunyi ujaran , berbeda dalam menghasilkan keberadaan ribuan jenis bahasa manusia yang dapat dimengerti. Speaker manusia ( polyglots ) sering mampu berkomunikasi dalam dua atau lebih dari mereka .
Berbicara merupakan bentuk komunikasi manusia yang disuarakan . Hal ini didasarkan pada kombinasi sintaksis leksikal dan nama yang diambil dari kosakata yang sangat besar (biasanya > 10.000 kata yang berbeda ) . Setiap kata yang diucapkan diciptakan dari kombinasi fonetik seperangkat terbatas vokal dan konsonan berbicara pada setiap unit suara. Kosakata merupakan bentuk sintaksis dari berbiacar , dan berbentuk unit bunyi ujaran , berbeda dalam menghasilkan keberadaan ribuan jenis bahasa manusia yang dapat dimengerti. Speaker manusia ( polyglots ) sering mampu berkomunikasi dalam dua atau lebih dari mereka .
B.
Tujuan
Berbicara
Berdasarkan pengertian berbicara di atas, maka dapat
dipahami bahwa tujuan berbicara secara umum adalah untuk melahirkan pendapat
dengan perkataan agar dapat dimengerti dan dipahami lawan bicara.
Secara lebih khusus, dikenal ada beberapa macam tujuan dalam berbicara, antara lain:
1. Untuk memberikan dorongan, seperti memberi
semangat, membangkitkan kegairahan, dan lain sebagainya.
2.Untuk meyakinkan pendengar;
3.Untuk memberitahukan sesuatu hal kepada pendengar;
4.Untuk membuat pendengar melakukan suatu tindakan
seperti yang dimaksud dalam pembicaraan itu;
5. Untuk memberikan hiburan atau menyenangkan hati
pendengar.
6. Untuk berkomunikasi
7. Untuk mengekspresikan diri
C. Fungsi
Berbicara
Secara
garis besar, maksud atau fungsi berbicara yaitu untuk berkomunikasi sebagai
interaksi positif untuk sebuah penyampaian maksud, pesan, gagasan, sugesti,
motivasi dan lain sebagainya.
Ujaran (speech)
merupakan suatu bagian yang integral dari keseluruhan personalitas atau
kepribadian, mencerminkan lingkungan sang pembicara, kontak-kontak sosial dan
pendidikannya.
Berbicara adalah
kemampuan mengucapkan bunyi-bunyi artikulasi atau kata-kata untuk
mengekspresikan, menyatakan serta menyampaikan pikiran, gagasan dan perasaan.
Tujuan utama dari
berbicara adalah untuk berkomunikasi. Agar dapat menyampaikan pikiran secara
efektif, maka seyogyanya ialah sang pembicara memahami makna segala sesuatu
yang ingin dikomunikasikan, maka pada dasarnya berbicara mempunyai tiga maksud
umum, yaitu:
- Memberitahukan, melaporkan.
- Menjamu, menghibur.
- Membujuk, mengajak, mendesak, meyakinkan
D.
Metode
berbicara
Berbicara di muka umum bukanlah hal yang mudah
dilakukan oleh setiap orang, namun bukan pula hal yang teramat sulit untuk
dipelajari. Untuk dapat berbicara di muka umum dengan baik membutuhkan kesiapan
mental dan memerlukan keterampilan dalam penggunaan kata-kata, bahasa, logat,
mimik wajah, peralatan dan penguasaan materi. Jam terbang atau pengalaman
seseorang dalam berbicara di muka umum sangat berpengaruh terhadap kualitas
pembicaraannya. Sebagai pedoman yang kiranya dapat membantu, ada baiknya
memperhatikan metode-metode public speaking berikut ini:
Metode
langsung. Disebut dengan metode impromptu, yaitu berpidato
secara langsung dengan mengandalkan kemampuan, kemahiran dan wawasan ilmu.
Dilakukan tanpa persiapan yang memadai.
Metode
naskah. Berbicara di muka umum dengan bantuan naskah atau teks tertulis
yang telah dipersiapkan. Dapat kita jumpai dalam pidato kenegaraan, siaran
televisi atau acara-acara resmi.
Metode
hafalan. Berpidato dengan menghafal naskah atau teks yang telah
dipersiapkan, khususnya dalam penggunaan bahasa.
Metode
variatif. Menggabungkan ketiga metode
sebelumnya. Dilakukan secara langsung dengan memperhatikan urut-urutan
pembicaraan dan didukung persiapan naskah atau kerangka pidato. Penggunaan
bahasa dan kata-kata yang dipilih relatif bebas, namun isi pembicaraan
berorientasi pada naskah.
BAB X
A.
Metode
Pengajaran Berbicara
Sebagai pendukung
upaya guru dalam membelajarkan pembelajaran berbicara beberapa bahan pelajaran
yang digunakan disesuaikan dengan metode pembelajaran yang digunakan.
Kesesuaian itu diperlukan karna antara media/bahan pembelajaran dengan metode
saling terkait. Bahan pembelajaran tersedia apbila tidak didukung oleh metode
yang tepat maka pembelajaran menjadi tidak bermakna. Demikian pula jika metode
pembelajaran dengan prosedur yang teratur dan baik tetapi tidak dilengkapi
dengan media ataau bahan ajar yang baik maka proses pembelajaran menjadi tidak
baik pula.
Senada dengan
pembahasan di atas bahwa tanpa metode yang tepat maka bahan pembelajaran dalam
kaitannya dengan pembelajaran bahasa menjadi tidak berarti. Maka berikut akan
diuraiakan beberapa metode pembelajaran yang layak dipertimbangkan dalam
kegiatan berbicara pada pembelajaran Bahasa Indonesia SD.
1.
Metode Ulang Ucap
Kegiatan ini dapat
dimulai dari kegiatan sederhan terutama untuk kelas awal SD yaitu dengan
menugaskan siswa mengulang kata yang diucapakan oleh guru.
2.
Metode Lihat Ucap
Siswa ditugaskan untuk
mengucapkan sesuatu kata atau kalimat yang berhubungan dengan benda yang
diperlihatkan oleh guru.
3.
Metode Memberikan
Deskripsi
Dengan metode ini
siswa diberikan tugas untuk untuk mendeskripsikan suatu benda yang
diperlihatkan oleh guru. Keterampilan yang dilatih selain kemampuan pokok yaitu
mengungkapkan pendapat adalah megamati benda, memilih dan mencocokkan sehingga
sangat cocok diterapkan pada siswa kelas awal sampai menengah di Sekolah Dasar.
4.
Metode Menjawab
Pertanyaan
Metode ini sudah
sangat umum sehingga dapat diterapkan pada kondisi dan jenis sembarang bahan
ajar. Pertanyaan dapat dikondisikan sedemian rupa oleh guru untuk merangsang
kreatifitas berfikir dan menyampaikan tanggapan terhadap suatu masalah yang
diajukan.
5.
Metode Bertannya
Metode bertanya juga
sangat layak digunaka pada sembarang bahan ajar. Dengan menyajikan bahan ajar
telebih dahulu kemudian siswa ditugaskan untuk membuat pertanyaan tentang
sesuatu yang tidak dipahami oleh siswa atau bahkan dalam tataran menguji materi
ajar itu sendiri. Dengan bertanya mereka akan mendapat jawaban dan tanggapan tersebut.
Tanggapan dan jawaban tersebut yang diterima oleh siswa akan masuk dalam suatu
kondisi benar dan tidak. Apabila siswa memang dasarnya adalah murni bertanya
maka setelah mendengarkan jawaban/tanggapan dan menganalisanya akan menanggapi
benar atau salah. Dan apabila siswa bermaksud menguji sudah barang tentu mereka
sudah memiliki jawaban dan hal itu adalah proses berfikir yang selangkah lebbih
maju. Sehingga siswa ini tergolong memiliki kecerdasan lebih dan layak
mendapatkan penghargaaan yang lebih pula. Kondisi-kondisi unik lainnya dapat
ditemui secara langsung dilapangan dengan tingkat variasi dan kompleksitas yang
lebih tinggi.
6.
Metode Pertanyaan
Menggali
Metode ini sangat baik
digunakan jika kondisi siswa yang stagnan dan dengan rata-rata tingkat
pemahaman bahkan IQ biasa-biasa saja. Karna untuk mengantarkan mereka kepada
suatu pemahaman yang menjadi tujuan pembelajaran diperlukan langkah-langkah
yang menggiring siswa sehingga sampai pada suatu keadaan paham kepada tema atau
permasalahan yang ingin kita sampaikan. Terkadang usaha ini agak sulit dan
membuat kita jengkel karna harus berputar-putar mencari pengandaian dan logika
lain, akan tetapi disinilah letak seni kita sebagai guru.Akhirnya siswa akan
dapat berbicara untuk menyampaikan gagasan, ide dan pendapat mereka.
7.
Metode Melanjutkan