Baru
saja mereka membuat aku terkejut “Kenapa ibu tak pernah bilang padaku bahwa pakcik
adalah ayah kandungku. Aku lebih kecewa kini karena setelah sekian lama semua
rahasia ibu telah terbuka, terlambat sudah ayah telah meninggal bahkan aku
belum pernah merasakan belaian beliau. Untuk apa lagi sekarang? Yang ada Cuma
kesedihan dan harapan yang berlalu”. Ucapnya seraya air mata yang mengalir.
Ternyata
kasih sayang yang ku terima ini bukanlah kasih dari orang tua kandungku,
sekarang aku merasa malu padamu ibu karena banyak sudah kejahilanku dari sejak
aku kecil sampai kini, maafkan aku.
Jadi, inilah tujuan ibu mengajakku ke tempat ini. Pantas mereka melihatku lain.
Baru
saja turun dari mobil angkutan umum L300 aku di sambut dengan keadaan yang
belum pernah aku rasakan sebelumnya, rasa duka telah terasa sejak rumah itu
tampak, kerrumunan orang-orang yang sedang yasinan ada yang duduk bersimpuh
dengan tangisan, para pemuda kampung sibuk memasang tenda untuk persiapan zikir
malam nanti.
“kamu
auri kan?” kata salah sanak saudara di rumah. Semua orang pun semua melihat ke
arahku, hanya terdiam saja tanpa gerak, aku bingung dengan omongan mereka belum
mengerti maksud dari pertanyaan singkat itu. Aku bertanya bertanya pada ibu apa
yang sedang mereka katakan terhadapku, padahal baru dua kali aku ke kampung
ini, pertama saat aku berusia 13 tahun, sekarang aku berumur 25 tahun untuk
kedua kalinya aku berada di sini kenapa mereka mengenaliku? Seribu tanya dalam
benakku, pertanyaan yang ku tujukan pada ibu tidak di jawab, beliau hanya diam
dan juga menyuruhku untuk diam.
Rasa
jengkel mulai terasa, karena penasaran yang aku rasakan ini tak ada jawaban,
padahal belum sampai 24 aku berada di kampung ini, tujuanku hanya
bersilaturahim ke rumah pakcik, malangnya satu jam sebelum aku sampai pakcik
telah meninggal. Aku juga merasa heran kenapa mayat pakcik tak langsung
dikebumikan, yang ku tahu, ibu bukanlah saudara dekatnya sah-sah saja bila
prosesi pemakaman langsung dilaksanakan.
Rasa
capek masih aku rasakan kerumunan orang-orang itu menghampiriku, ibu hanya diam
dari tadi, seperti ia menyembunyikan suatu hal dariku, rasa penasaran masih ada
dalam benakku. Ketika melihat mayat pakcik terbaring di ruang yang aku lihat,
tanpa aku sadari tetesan ini membasahi pipiku, ingin sekali rasanya aku mencium
kaning pakcik, terasa dalam jiwa, seakan aku telah kehilangan seorang yang
sangat aku cinta dan sayangi, bahkan lebih dari itu, padahal aku tidak akrab
dengannya hanya sebatasnya saja antara saudara biasa.
Aku
terus memandanginya, walau sudah banyak orang disekelilingku. Salah seorang
dari mereka berkata “itulah ayahmu!”. Aku tak tahu siapa yang berkata seperti
itu, kejutkan batinku rasa sesak terasa dalam dada mengapa dia berkata seperrti
itu, aku masih belum percaya atas apa yang baru saja ku dengar, “ibu, benarkah
apa yang mereka katakan, bahwa aku adalah anak kandung pakcik?”. Sekarang semua
orang sudah membicarakan itu ibu tak bisa berkata-kata lagi selain hanya
menangis. “nanti saja ibu ceritakan semuanya padamu nak! Benar apa yang meraka
katakan, datanglah ke sana ke jenazah ayahmu cium keningnya dan minta maaflah
padanya”. Hanya itu yang ibu katakan.
Tak
peduli lagi apa yang ada di sampingku bahkan orang-orang banyak itu, aku duduk
bersimpuh dengan berlinangan air mata meminta maaf pada ayah yang baru aku
kenal setelah ia meninggal (pakcik), tangis ini tak bisa lagi aku bendung ia
keluar begitu saja. “Ayah, durhakakah aku karena baru mengenalimu, apakah
dosaku akan terampuni karena kini baru aku bisa mengucapkan kata maaf padamu,
ayah, apakah aku seorang anak yang berbakti padamu karena tak pernah sekalipun
aku memanggilmu dengan sebutan “ayah”. Ayah ini adalah kali pertama aku
memanggilmu dengan sebutan itu setelah kau tak lagi mendengar suaraku ini, ayah
aku hanya bisa maaf padamu dan akan selalu aku doakan engkau ayah agar dikau
menjadi ahli surga di sana kelak. Amin”.
Tak
algi berkata apa-apa aku duduk dengan sebuah yasin dan membacanya, orang-orang
itu masih saja melihatku.
***
Setelah
proses pemakaman ayah selesai aku pinta kepada ibu untuk menjelaskan semuanya
tentang aku. Ibu mencertikan semuanya dengan sesak tangis yang ditahannya.
Ibu
kandungku meninggal dunia kala aku masih
berusia satu bulan, keadaan keluarga yang sangat kurang mampu menjadi faktor
utama kenapa aku tak di rawat oleh ayah (pakcik). Ayah ingin aku menjadi orang
yang berhasil namun tak mungkin dengan keadaan materti yang tak cukup, saat itu
ibu datang dan meminta agar aku bisa di rawatnya sampai berhasil kelak dan ia akan
merahasiakan semua tentang aku, ibu berencana memberitahukan kisahku setelah
aku tamat kuliah dan punya pekerrjaan yang tetap. Tapi, apalah daya kehendak
berkata lain ayahku meninggal sebelum sempat aku tahu siapa beliau
sesungguhnya.
Semenjak
aku tahu bahwa aku bukan anak kandungnya, aku penasaran dan sangat ingin
melihat wajah ibu kandungku,apakah aku mirip dengannya, apakah ibu cantik
secantik aku, ibu kandungku bagaimana sifatnya. Bayang-bayang tentang ibu masih
tergambar dalam pikiranku, membayang seorang yang telah melahirkanku tapi belum
pernah sekalipun aku melihatnya.
Seraya
bayang-bayang itu bersemayam dalam benakku ibu memperlihatkan sebuah buku yang
berisi album foto yang sudah usang tampaknya. Wajah seorang wanita sedang
mengendong bayi, senyumannya begitu menggugah, ciumannya di kening bayi itu
sangat ikhlas terlihat. Ibu bilang “wanita dalam foto ini adalah ibu kamu, dan
bayi yang ada dalam pangkuannya adalah kamu”. Sesak yang ku rasa akhirnya
berubah menjadi isak tangis aku sangat merindukan ibu di kala ayah sudah
pergi untuk selamanya.
Kini
hanya doa yang bisa ku panjatkan kepada
mereka, walau tak sempat aku merasakan bagaimana kasih sayang orang tua
kandung sesungguhnya. Ibuku telah lama pergi, ayahku baru saja menutup mata,
aku telah dewasa menjadi seorang wanita sesungguhnya.
Ibu,
kini hanya kau yang aku punya walau dia bukanlah ibu kandungku tapi kasih
sayang yang ia berikan sama halnya seperti kasih sayang ibu kandung. Aku tak
ingin lagi kehilangan ibu untuk yang kedua kalinya, aku ingin ibu melihatku
bahagia dengan keberhasialan yang ku dapat kini, berkat doa ibu yang telah
telah pergi dan ibu kedua yang membimbingku selama ini.
***
Ternyata
ayahku, setelah kepergiannya aku tahu siapa aku adalah bukan anak kandung ibu,
melainkan anak yang diambil ketika aku masih berusia satu bulan. Mungkin ini
adalah kisah biasa, betapa pahit ku rasa. Tak sanggup lagi apa yang akan ku
kata, karena tetesan ini telah merusak kertas diari yang telah rangkai dari
hati.
Ibu,
Ayah aku rindu kalian. Kita akan bersama di sana kelak di surga.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar