sastra

Jumat, 29 Juni 2012

Catatan Cinta


1.      Awal dari cinta adalah pertemuan
2.      Cinta tumbuh dengan berjalannya waktu
3.       kesedihan itu pun menghampiri
4.      Tiada kebahagian tanpa ada kesedihan
5.      Sampai kapanpun cinta ini takkan pernah hilang
6.      Mungkin bahagia itu ada setelah kepergian seseorang yang sangat berarti
7.      Memilih cinta sejati dengan kepedihan atau mendapat cinta sesaat dengan kesenangan
8.      Perpisahan ini adalah yang pertama dan terakhir dalam hidupku
9.      Air mata dan cinta adalah satu
**********
(INILAH CATATAN CINTAKU DENGAN SANG MANTAN)
Sesunggunya kesendirian yang ku jalani selama ini sangat menyiksa batin, hidup dalam kesendirian tanpa ada peneman. Hari ini adalah hari yang berbeda dari sebelumnya ketika perjumpaan pertama dengannya hati ini langsung merasakan hal yang beda, seperti kata orang-orang Awal dari cinta adalah pertemuan. Perkenalan yang singkat dan hari-hari pun mulai menyenangkan aku merasakan hal yang berbeda.
Pertemuanku dengannya sungguh indah, Cinta tumbuh dengan berjalannya waktu aku tak lagi merasakan kesendirian setiap waktu ku jalani bersamanya dalam susah, sedih, senang bahkan saat aku terjatuh. Tiada hal yang paling indah selain cinta karena cinta itu anugerah yang tak ternilai harganya. Cinta itu dapat membuat api membara sampai bumi ini hangus, cinta juga dapat menyejukkan dan lebih sejuk daripada angin di bibir pantai, cinta itu lebih indah daripada senja yang menampakkan kecerahan dan panoramanya, tiada yang dapat mengartikan cinta sesungguhnya.
Cinta juga dapat merubah segalanya, bahkan hal terindah bisa berubah menjadi kenangan pahit, kebahagian dan kesedihan itu sangat dekat, di mana ada kebahagiaan di sana ada kesedihan ibarat menyimpan emas dalam tumpukan kotoran. Inilah yang terjadi dalam perjalan cintaku ketika kebahagian baru saja aku rasakan kesedihan itu pun menghampiri. Tiada kebahagian tanpa ada kesedihan kalimat yang terus membayangi dalam benakku. Tak dapat ku pungkiri kabahagian yang ku alami sangat indah, tapi mengapa begitu singkat? Mengapa perpisahan itu ada.  Padahal tiada seorang pun yang menginginkan perpisahan, karena perpisahan itu hanya akan menyebabkan air mata, kenangan dan kesedihan. Walau air mata tak semalanya mengalir di atas pipi, namun hati akan terus tersayat olehnya.
Jika kebahagiaan pada awal cerita, mengapa kesedihan itu ada pada akhir kisah?. Walau begitu Sampai kapan pun cinta ini takkan pernah hilang. Cinta yang tumbuh dalam hati ini tak bisa dengan cepat hilang, waktulah yang menentukan semuanya, sebelum atau setelah aku meninggalkan dunia fana ini. Kepergiannya bukan karena kesengajaan, dan juga bukan skenario yang diciptakan oleh tangan-tangan manusia.  Aku tidak tahu apakah aku akan kembali mendapatkan cinta seperti ku dapat cintanya, apakah ia akan sama seperti cinta yang dahulu, apakah aku akan ikhlas dengan cintaku selanjutnya?. Atau Mungkin bahagia itu ada setelah kepergian seseorang yang sangat berarti. Sampai mendapatkan cinta selanjutnya tak bisa lagi berdusta hati ini masih saja kadang kala merindukan sosok gadis mungil yang dulunya sangat suka merebahkan wajah manisnya di bahuku. Wajah yang kini hanya dapat ku lihat dalam bingkai itu dan tak bisa lagi ku sentuh dengan tangan ini melainkan tetesan-tetesan mata yang membasahi wajahnya dalam bingkai.
Masih teringat kata terakhirnya padaku “Memilih cinta sejati dengan kepedihan atau mendapat cinta sesaat dengan kesenangan” setelah aku dengannya tak pernah lagi terbesit untuk mencari cinta lagi karena aku yakin cinta akan tumbuh setelah kepergiannya walau cinta ini tak sebesar cintaku padanya dulu. Mereka berkata “tak ada gunanya lagi mengenang seseorang yang telah tiada”, bagiku itu tak mungkin karena kenangan paling indah memang saat bersamanya.
Perpisahan ini adalah yang pertama dan terakhir dalam hidupku. Perpisahan dua hati yang tak pernah bisa lagi dikisahkan oleh orang lain, hanya mereka dapat menulis kembali kisah sederhana ini, seperti kisah Taj Mahal atau romeo dan juliet cinta abadi sampai kini masih dikenang. Air mata dan cinta adalah satu bahagia meneteskan air mata, sedih juga dapat meneteskan air mata. Inilah air mata untuk cinta yang pertama dan bukan terkhir.



Rahmatsyah, 13 juni 2012

Selasa, 26 Juni 2012

Ayah, Aku Pinta

Dalam tangisan hanya mampu menahan sakit
Ketika teringat semua kenangan pahit di rumah ini
Kelemahan yang membuat aku tak berdaya

Ayahku begitu jahat
Pukulannya membekas di kulit
Suara tamparan dan makian
Masih teringat dalam benakku

Ayah, aku hanya gadis lemah
Aku bukanlah boneka kayu yang bisa kau maki dan pukuli
Tempat pelampiasan kemarahanmu

Ayah, aku mohon hentikan siksaan ini
Aku sungguh menyayangimu

Ayah, aku mohon jangan pukuli aku lagi
Sudah begitu sakit apa yang ku rasa selama 
aku hidup denganmu

Tak berani mencurahkan kesakitanku
Pada orang lain karena kau, ayahku

Ayah, kenapa kau begitu marah padaku
Apakah aku bukan anakmu

Apakah aku anak yang kau ambil di tempat sampah
Atau tempat di mana orang membuang kotoran
Sehingga kau menganggapku seperti itu

Ayah, bila kau memang benci padaku
Lebih baik kau bunuh aku

Aku tak sanggup hidup
Dalam makian dan pukulanmu, ayah

Ayah, inilah isi hatiku
Yang berani aku tulis dan tak pernah ku ceritakan

Ayah, bunuhlah aku
Agar kau senang

Jika kau tak membunuhku
Maka, tunggulah aku di jurang sana

Jumat, 22 Juni 2012

Negeri-ku, Pemimpin Dusta dan Pedasi di Atas Kursi


                          

             "Hanya ada satu kata: lawan!”  Begitulah sebaris kata-kata yang terdapat pada judul “Peringatan”, karya Whiji Thukul. Masih menghiasi di antara pemikiran kita hingga hari ini. Meskipun perlawanannya telah berakhir ketika “Wiji Thukul diculik dan dilenyapkan oleh kaki tangan rezim Orde Baru karena puisi-puisinya serta aktivitasnya di dunia politik praktis, namun semangat perjuangan yang tercermin dalam sajak-sajaknya akan terus hidup.” (Sambodja, 2008). Walau diculik dan dilenyapkan, namun karya-karyanya tetap diikuti dan diapresiasikan hingga hari ini. Baik secara perorangan maupun secara nasional dengan konsep dan ideologi kekiniannya.

             Antara Wiji Thukul dan W.S. Rendra, sama-sama mengusung tema yang sama walau ada beberapa puisi-puisi cinta yang dituliskan oleh W.S Rendra. Namun tetap bertemakan sosial yang cukup dikenang oleh pembacannya hingga hari ini.

              Sehingga tidak mengherankan jika W.S Rendra, masih dihidupkan dengan “Sajak Sebatang Lisong”-nya. Baik yang dikatakan pada tiga baris di bait pertama, /dan di langit/ dua tiga cukong mengangkang,/ berak di atas kepala mereka//. Tentang perlawanan dan ungkapan rasa ketidakadilan dari para cukong yang meraut keuntungan. Dan /membentur jidat penyair-penyair salon,/ yang bersajak tentang anggur dan rembulan,// yang hanya bermain dengan puisi-puisi cinta. Tidak memperdulikan tentang apa yang sedang terjadi di sekitarnya. Baik secara ril maupun non ril.

              Jika bercerita tentang keadilan dari puisi kekinian, maka Ramatsyah pun juga patut dikatakan sebagai penyair yang mengusung jalur yang sama-sama digariskan oleh Wiji Thukul dan W.S Rendra. Meski karya-karyanya hanya mampu dilahap di selembar koran lokal yang ada di Banda Aceh. Tepatnya di koran Serambi Indonesia dan Harian Aceh, seperti pada puisi di bawah ini:

Pedasi di Atas Kursi

Lepas suara siap berlaku
Para tuan pedasi yang bercinta
Bersilat lidah di atas pentas
Berkata janji si mulut setan

Senang alami di awal hari
Telah terpilih si tuan raja
Kami berdiri berharap itu janji
Menatap sang tuan yang berdasi

Di atas meja dan kursi putar
Selembar kertas terhitung rupiah
Hitungan jutaan sampai tak terhingga
Lengah mata Tuan Raja
Silaunya uang ia berdalih

Janji diingkari uang dicuri
Kami si miskin terlena akan janji
Terbuai kata jelmaan iblis

Kini, kami hanya menanti
Sang tuan raja seperti dalam mimpi

Rahmatsyah, 28 Maret 2012


               Pada bait puisi yang ketiga, Rahmatsyah mengatakannya seperti ini. /Di atas meja dan kursi putar/ Selembar kertas terhitung rupiah/ Hitungan jutaan sampai tak terhingga/ Lengah mata tuan raja/ Silaunya uang ia berdalih//. Tidak dipungkiri jika di bait itu Tuan Raja ialah sebagai para penguasa di negeri ini. Menggunakan kekuasaan dan jabatannya hanya untuk menikmati kekayaan dari hasil yang bukan haknya. Hal tersebut terbukti pada bait keempat, menjelaskan perihal tentang /Janji diingkari uang dicuri/ Kami si miskin terlena akan janji/ Terbuai kata jelmaan iblis//. Tentu saja, hal tersebut membuat berang sang penyair yang juga mengatakan di bait kelimanya. /Kini, kami hanya menanti/ Sang Tuan Raja seperti dalam mimpi//. Yang juga merindukan sang penguasanya, walau hanya diungkapkan di “dalam mimpi”.

              Meskipun puisi yang berjudul “Pedasi di Atas Kursi” masih bermain dengan penyampaian berpola rima ab-ab, pada bait kedua puisi tersebut. Namun puisinya mampu mempertegaskan pemikirannya kepada kita sebagai pembaca. Untuk merenungi tentang hak dan kewajiban sebagai pemimpin yang baik. Baik untuk diri sendiri maupun untuk orang lain.

              Pada puisi di bawah ini pun menceritakan hal yang sama. Tetapi lebih difokuskan secara nasional, kepada pemimpin di negeri ini yang juga dijelaskan pada pengamatannya secara mendalam. Berikut sajian puisinya, perihal mengenai pemimpin dusta tersebut.

Negeri dan pemimpin dusta

Untuk apa hidup di negeri ini
Bila kalian hanya membuat kami menangis
Untuk apa kami memilih pemimpin
Bila sang pemimpim tak memimpin
Kami bagai makanan yang hanya kau lahap waktu lapar

Kenyangkah kalian sekarang dengan uang kami
Kau makan harta kami
Kau renggut sejahtera

Rakyat jelata hanya berbaring di atas kasur tua
Sedang kau mimpi indah dipembaringan mewah
Rakyat jelata kini duduk tak bisa bersuara
Jiwa mereka meronta tanpa bertindak

Mahasiswa berdiri di hadapan kalian
Mewakili mereka yang sedang istirahat, lalu mencari nafkah
Sesuap nasi hasil keringat
Kini beban mereka bertambah karena kalian
BBM kau naikkan,

Ah, pembohonglah kalian
Berjanji pada kami
Namun, kau hancurkan kemudian

Negeri dan pemimpin dusta

Rahmatsyah, 24 Maret 2012


             Setelah membaca dan memahami perihal puisi yang berjudul “Negeri dan Pemimpin Dusta” tersebut. Ada serangkaian kejadian yang selalu berkaitan, sambung-menyambung menjadi suatu kejadian di setiap bait puisinya. Seperti pada bait pertama, yang begitu tegas dikatakannya /Bila sang pemimpim tak memimpin/ Kami bagai makanan yang hanya kau lahap waktu lapar//. Pada bait kedua, ditegaskan pula dengan dua baris yang juga menyatakan kelangsungan semasa penguasa memimpin negeri ini. /Kau makan harta kami/ Kau renggut sejahtera//. Dan pada bait terakhir inilah sang penyair berkata dengan lantang. /Ah, pembohonglah kalian/ Berjanji pada kami/ Namun, kau hancurkan kemudian//. Perihal tentang janji palsunya, tentang menaikkan harga BBM dan berbohong di balik kepemimpinannya. Adalah sebagai ungkapan dari “Negeri dan Pemimpin Dusta” tersebut, yang telah dinyatakan dengan ketegasannya sebagai penyair di negeri ini.

            Dari kedua judul puisi tersebut, setelah membacanya dan memahami tentang apa yang ingin disampaikan oleh penyair Rahmatsyah tersebut. Adalah serangkaian pada masa-masa yang juga terjadi di akhir-akhir ini, tepatnya di “Negeri dan Pemimpin Dusta” ini. Ia menulis puisi yang bisa dimengerti oleh kalayak ramai tentang kenyataan hidup orang-orang yang melarat, dihimpit kemiskinan. Dan, pada akhirnya bahwa di tangan penyair, fakta sosial bisa menjadi kekuatan yang sangat luar biasa. Ia mengungkap fakta ketimpangan sosial dengan kepekaan kepenyairannya. Namun, kata-kata sang penyair seperti Rahmatsyah memiliki perjalanan yang panjang. Entah kapan, semoga sang penyair mampu menghasilkan karya-karyanya, hingga akhir hayatnya.


Sumber:
Negeri dan Pemimpin Dusta (Harian Aceh, 08 April 2012)
Pedasi di Atas Kursi (Harian Aceh, 08 April 2012)


Selasa, 12 Juni 2012

Bayangan


Bayangmu menyatu dengaku
Setiap gerakku tergerak bayangmu
Hitam tampak kau mengikuti alunan tubuhku
Bahkan dalam mimpi kau ikut sertakan bayangmu

Bayangmu tak hanya datang ketika malam tiba
Saat mentari yang menghangatkan siang
Kau pun serentak berjalan denganku

Terkadang ku ingin bayangmu hilang
Karena kesialan yang kau bawa
Membuatku melayang
Sampai meratapi masa depan yang kelam

Aku tak bahagia bersama bayangmu
Dan aku akan berdiri dengan bayangku sendiri, kini

                                                                        Rahmatsyah, 12 Juni 2012
                                                                        Tungkop.